Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah startup teknologi yang berbasis di Hong Kong sudah mulai memindahkan data dan karyawan menyusul penerapan Undang-Undang Keamanan Nasional oleh Beijing di bekas jajahan Inggris itu.
Pengusaha teknologi kini menghadapi gelombang kekhawatiran dari klien dan pemasok luar negeri tentang implikasi menjalankan data dan layanan internet di bawah rezim baru dimana kepolisian memiliki wewenang luas hingga dunia maya. Banyak perusahaan membuat rencana darurat dan merestrukturisasi operasi dari Hong Kong.
"Kami khawatir orang-orang tidak akan mempercayai kami suatu hari nanti jika kami memberi tahu mereka bahwa kami adalah perusahaan yang berbasis di Hong Kong," kata founder perusahaan perangkat lunak Oursky Ben Cheng, dilansir Bloomberg, Selasa (21/7/2020).
Cheng mengaku sejak undang-undang itu berlaku, beberapa penyedia layanan cloud asing menolak untuk bekerja sama dengan Oursky. Dia mengatakan untuk mengatasi masalah ini, perusahaannya akan mendirikan kantor di Inggris dalam waktu sekitar satu tahun dan kemudian berekspansi ke Jepang.
Berdasarkan undang-undang baru itu, perusahaan teknologi yang menangani data sangat rentan terkena sanksi. Polisi dapat meminta perusahaan untuk menghapus atau membatasi akses ke konten yang dianggap membahayakan keamanan nasional, dengan denda senilai 100.000 dolar Hong Kong atau sekitar US$13.000 dan enam bulan penjara.
"Ketentuan semacam itu menempatkan perusahaan teknologi di bawah risiko dan kewajiban luar biasa. Ini adalah sinyal bagi perusahaan-perusahaan ini untuk sangat berhati-hati. Jika Anda ingin aman dan Anda tidak menginginkan ketidakpastian, maka mungkin Anda harus meninggalkan Hong Kong," kata Charles Mok, seorang anggota parlemen Hong Kong.
Baca Juga
Dalam beberapa tahun terakhir, pusat keuangan global telah berkembang menjadi tujuan yang menarik bagi pelaku fintech. Kedekatan Hong Kong dengan Shenzhen telah membantu membina hubungan penelitian dan pengembangan antara perusahaan rintisan dan universitas China.
Menurut Structure Research, Hong Kong diperkirakan akan meraup pendapatan dari pusat data senilai US$1,7 miliar pada 2023, menyaingi Singapura yang pasar servernya menghasilkan US$1,4 miliar tahun lalu. Potensi itu kini terancam karam.
Sementara itu, lebih dari setengah dari klien artificial inteligence di AS menyatakan kekhawatiran
tentang bagaimana undang-undang dan tindakan pembalasan Washington untuk mencabut status perdagangan khusus Hong Kong mempengaruhi perdagangan data.
Bahkan sebelum undang-undang baru itu berlaku, situasi di kota itu sudah penuh dengan ketegangan AS-China. Investor menjadi sangat berhati-hati dengan segala sesuatu yang memiliki hubungan dengan China dan regulasi baru itu.
Seorang pendiri modal ventura yang enggan diidentifikasi namanya mengatakan perusahaan mereka telah mentransfer semua datanya ke penyimpanan offline portabel jika ada kebutuhan untuk meninggalkan Hong Kong di masa mendatang.
Namun bagi sebagian orang, daya tarik integrasi yang lebih erat dengan China adalah kesempatan yang terlalu bagus untuk dilewatkan.
"Ini hanya fenomena jangka pendek. Saya pikir setelah mereka memahami masyarakat lebih stabil, bisnis akan kembali," kata Terence Chong, profesor ekonomi di Chinese University of Hong Kong.
Menurutnya, Hong Kong adalah pintu gerbang ke China. Jika perusahaan-perusahaan ingin memiliki akses ke pasar China, Hong Kong adalah tempat terbaik untuk menjalankan bisnis.