Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PPDB DKI Jakarta 2020 Contoh Kebijakan Nonpopulis yang Butuh Keberanian

Kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta 2020 dengan seleksi usia untuk jalur zonasi, dipercaya sebagai kebijakan yang ideal, namun perlu keberanian lebih untuk diterapkan.
Sejumlah orang tua murid terdampak PPDB DKI Jakarta yang memberlakukan syart usia berunjuk rasa di depan Gedung Balai Kota DKI Jakarta pada Selasa (23/6/2020)./Antara/Aprilio Akbar
Sejumlah orang tua murid terdampak PPDB DKI Jakarta yang memberlakukan syart usia berunjuk rasa di depan Gedung Balai Kota DKI Jakarta pada Selasa (23/6/2020)./Antara/Aprilio Akbar

Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta 2020 dengan seleksi usia untuk jalur zonasi, dipercaya sebagai kebijakan yang ideal, namun perlu keberanian lebih untuk diterapkan.

Tak ayal, kebijakan ini sempat menuai polemik, khususnya bagi wali murid yang mendaftarkan anaknya ke SMP dan SMA/SMK.

Pengamat Pendidikan dari Center of Education Regulations and Development Analysis (Cerdas) Indra Charismiadji menjelaskan bahwa menetapkan kriteria umur dalam seleksi jalur zonasi PPDB DKI Jakarta sebenarnya sudah ideal.

"Perlu disadari, kalau tidak ada kebijakan ini, anak-anak yang putus sekolah atau tidak melanjutkan sekolah sehingga usianya tua. Itu siapa yang mau mikirin? Mereka mau mendapat pendidikan di mana? Maka ini langkah tepat karena artinya pemerintah membuka akses bagi keberagaman di ruang kelas," jelasnya kepada Bisnis, Sabtu (27/6/2020).

Pasalnya, kebijakan ini mampu memecah hegemoni 'sekolah favorit', terutama di sekolah negeri. Dengan latar belakang yang beragam di ruang kelas, sekolah dan guru yang benar-benar bagus dalam memberikan pelayanan kegiatan belajar-mengajar pun jadi bisa terlihat.

Keberagaman di ruang kelas tak akan terlihat apabila kriteria masuk sekolah masih berbasis nilai. Selain itu, perlu dipahami bahwa sekolah negeri merupakan entitas pelayanan negara untuk publik yang seharusnya memang membuka ruang seluas-luasnya untuk berbagai kalangan.

Indra menganalogikan sebuah kantor kelurahan. Tak ada kantor kelurahan favorit, semua warga perlu mendapatkan pelayanan yang sama di setiap wilayah. Harapannya, sekolah negeri baik SD, SMP, SMA/SMK pun bisa seperti itu.

"Stigma sekolah favorit, apalagi di sekolah negeri, itu tidak boleh ada lagi. Harus lebur. Kalau bisa, satu Indonesia harus sama. Jangan lagi ada sekolah di mana siswanya homogen, dari awal sudah pada pintar-pintar, umurnya sama, nggak kelihatan nanti proses belajar di sekolah itu bener bagus atau tidak. Jadi keberagaman di ruang kelas ini bagus untuk pemerataan pendidikan," ujarnya.

Namun demikian, ada satu kesalahan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yang Indra catat, yakni kurangnya sosialisasi bahkan cenderung seperti kebijakan dadakan. Upaya menanamkan pemahaman untuk masyarakat seharusnya menjadi fokus sejak jauh hari.

"Jadi ini satu hal yang sebenarnya positif, tapi masyarakat belum siap dengan perubahan, makanya diprotes. Padahal ini efeknya besar untuk bangsa, bukan untuk kepentingan golongan, politis. Apalagi ini tidak populer kan, banyak diprotes. Makanya saya apresiasi betul ada penerapan kebijakan yang berani memperjuangkan pemerataan pendidikan seperti ini," tutupnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper