Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menanggapi aduan ke Dewan Pengawas KPK terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukannya saat menggunakan helikopter di Sumatra Selatan, Sabtu (20/6).
"Saya hanya kerja dan kerja," ujarnya saat dikonfirmasi, Jumat (26/6/2020).
Namun, dia enggan menanggapi lebih lanjut soal aduan oleh Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) ke Dewas KPK tersebut.
Firli juga tidak bersedia menjelaskan lebih rinci terkait dengan aduan saat bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengaku sudah mendapat penjelasan langsung dari Firli soal penggunaan helikopter tersebut yang saat ini menjadi polemik bahkan Dewan Pengawas KPK pun sudah memintai keterangan Firli pada Kamis (25/6/2020).
Alex menyatakan Firli menggunakan pesawat dari Palembang ke Baturaja untuk efisiensi waktu. "Disampaikan saja, kemarin itu memang yang bersangkutan cuti ke Baturaja. Kabarnya kan naik helikopter dan itu memang bayar. Kalau PP [pulang pergi] kan lebih sehari, padahal cutinya sehari makanya menyewa helikopter itu, bayar kok dia bilang. Itu yang disampaikan," ungkap Alex.
Anggota Dewas KPK Sjamsuddin Haris saat dikonfirmasi juga membenarkan pihaknya telah memintai keterangan Firli pada Kamis (25/6). "Sudah diklarifikasi atau dimintai keterangan oleh dewas, Kamis (25/6) kemarin," kata dia, Jumat (26/6/2020).
Dewas juga sudah menugaskan tim untuk melakukan mengidentifikasi fakta-fakta lebih lanjut atas aduan tersebut.
Aduan MAKI tersebut adalah yang kedua di mana dalam aduan pertama diduga Firli melanggar protokol Covid-19 karena tidak menggunakan masker dan tidak menjaga jarak ketika bertemu puluhan anak-anak di Baturaja, Sumsel.
Adapun, inti surat yang dikirim ke Dewas KPK tersebut bahwa pada Sabtu (20/6), Firli melakukan perjalanan dari Palembang ke Baturaja untuk kepentingan pribadi keluarga, yakni ziarah ke makam orang tuanya.
Perjalanan tersebut menggunakan sarana helikopter milik perusahaan swasta dengan kode PK-JTO. Hal tersebut, kata Boyamin, bertentangan dengan kode etik pimpinan KPK yang dilarang bergaya hidup mewah.