Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menerawang Nasib Pilot di Tengah Badai Pandemi

Maskapai di seluruh dunia dipastikan akan memangkas puluhan ribu pekerja untuk menghemat biaya selama masa pemulihan bertahun-tahun mendatang. Ini menimbulkan kekhawatiran bagi para pilot.
Pilot dan kru pesawat memberi penghormatan terakhir kepada pesawat Garuda Boeing 747-400 di Hanggar 4 GMF Aero Asia, Tangerang, Banten, Senin (9/10)./JIBI-Felix Jody Kinarwan
Pilot dan kru pesawat memberi penghormatan terakhir kepada pesawat Garuda Boeing 747-400 di Hanggar 4 GMF Aero Asia, Tangerang, Banten, Senin (9/10)./JIBI-Felix Jody Kinarwan

Bisnis.com, JAKARTA - Tahun lalu Boeing Co. memperkirakan maskapai penerbangan akan membutuhkan 800.000 pilot selama 20 tahun ke depan untuk memenuhi euforia perjalanan dari dan ke Asia.

Kini setelah pandemi virus Corona menyapu industri penerbangan global, rencana serapan itu bak isapan jempol belaka.

Maskapai di seluruh dunia dipastikan akan memangkas puluhan ribu pekerja untuk menghemat biaya selama masa pemulihan bertahun-tahun mendatang. Emirates Group, maskapai penerbangan jarak jauh terbesar di dunia, sedang mempertimbangkan untuk memangkas sekitar 30.000 staf.

Lufthansa AG dari Jerman mengatakan kelebihan 22.000 posisi dan Alitalia lebih dari 6.800 pekerja. Tidak ketinggalan, British Airways akan memangkas sebanyak 12.000 pekerja, dimulai dengan pengunduran diri secara sukarela.

Sedangkan di AS, dalam jangka pendek, maskapai besar termasuk Delta dan United Airlines Holdings Inc. perlu memotong sekitar 20 persen pilot atau antara 11.000 hingga 13.000 orang.

Asosiasi Pilot Jalur Udara di Delta sedang menegosiasikan paket pensiun dini yang akan memberikan sejumlah bayaran dan tunjangan sampai pilot yang memenuhi syarat mencapai usia pensiun wajib yaitu 65 tahun. American Airlines, Southwest Airlines Co. dan JetBlue Airways Corp. telah menawarkan jenis insentif serupa.

Kondisi pemangkasan besar-besaran tersebut linier dengan armada pesawat yang terparkir sebesar 51% di seluruh dunia. Para pilot ini termasuk kelompok 1 miliar pekerja di industri di seluruh dunia yang menghadapi PHK atau pemotongan upah sebagai akibat dari kelumpuhan ekonomi dari pandemi virus Corona.

Chris Riggins, seorang pilot untuk Delta Air Lines Inc., mempertimbangkan untuk bekerja di toko grosir selama masa-masa sulit ini. Sejumlah rekannya ada yang beralih ke perusahaan telepon, mengemudikan truk, atau bekerja di indstri jasa keuangan.

Dua tahun lalu, Richard Garner, pilot Qantas Airways Ltd. mendirikan perusahaan konsultasi keuangan dan mengatur pinjaman untuk staf maskapai. Garner menjalankan perusahaan itu sebagai pekerjaan sampingan. Kini ketika Qantas memangkas dua pertiga dari 30.000 karyawannya termasuk Garner, perusahaan bernama Crew Financial itu menjadi tumpuan pendapatannya.

"Kami akan melakukan apa pun yang kami bisa dengan memecahkan masalah dan mengelola risiko untuk melindungi keluarga kami. Jika harus bekerja di toko grosir, pilot akan melakukannya," kata Riggins, dilansir Bloomberg, Senin (22/6/2020).

Di Leeds, Inggris utara, pilot British Airways berusia 53 tahun Dave Fielding mengaku belum terbang sejak berbulan-bulan. Sebagai syarat bantuan pemerintah, maskapai penerbangan Inggris dapat mulai mempekerjakan pilot secara paruh waktu, setidaknya hingga Oktober 2020.

Di sebuah jaringan profesi, pilot yang cuti menceritakan pekerjaan barunya. Seorang pilot Boeing 737 mengatakan terpaksa bekerja di supermarket untuk membayar utang. Sedangkan seorang pilot Airbus A320 dibayar seminggu untuk pekerjaan paruh waktu dalam jumlah yang sama untuk setengah hari mengemudikan pesawat.

Menurut pelacak penerbangan Official Airline Guide (OAG) Aviation Worldwide Ltd. Airlines, penerbangan global turun lebih dari dua pertiga dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pada 8 Juni 2020, penerbangan di Eropa Barat, Amerika Latin dan Asia Selatan, berada pada 70 persen di bawah kapasitas normal sebelum pandemi.

Belum jelas kapan industri penerbangan global akan pulih sepenuhnya. Hal yang sudah jelas di depan mata adalah kerugian US$84,3 miliar dan penurunan pendapatan sebesar 50 persen tahun ini.

Cathay Pacific Airways Ltd. pekan lalu mengatakan perlu mengumpulkan 39 miliar dolar Hong Kong dari pemerintah Hong Kong dan pemegang saham untuk menghindari kehancuran.

Kondisi itu sudah cukup menggambarkan masa depan yang cukup suram bagi pilot sebagai profesi yang sebelumnya dinilai prestisius dengan tawaran gaji serta tunjangan menggiurkan.

Namun demikian, Boeing optimistis kondisi ini hanya sementara. Perusahaan itu telah berpengalaman menghadapi krisis dan guncangan pasar, termasuk wabah SARS pada 2003, serangan teroris 9/11 pada 2001, dan krisis keuangan pada 2008.

"Hal yang sama akan mulai terjadi ketika pandemi Covid-19 mereda. Dalam jangka panjang, fundamental yang mendorong permintaan untuk perjalanan udara, angkutan udara, pilot dan teknisi, masih ada," kata Boeing dalam sebuah pernyataan.

Sementara itu, seiring dengan karantina yang mulai dilonggarkan, penerbangan domestik mulai lepas landas lagi di banyak negara termasuk China dan AS, dua pasar perjalanan udara terbesar di dunia. American Airlines Group Inc., misalnya, meningkatkan jadwal Juli sebesar 74% dibandingkan dengan Juni, meski masih jauh dari kapasitas 2019.

Di Inggris, Bandara London City mulai dibuka kembali untuk penerbangan komersial setelah penutupan selama tiga bulan. Sedangkan Dubai akan mulai mengizinkan wisatawan berkunjung mulai 7 Juli 2020, untuk pertama kalinya sejak Uni Emirat Arab memberlakukan pembatasan perjalanan karena virus Corona.

Pada akhirnya, pemangkasan pilot dalam jumlah besar merupakan kehilangan besar bagi industri penerbangan di masa mendatang.

Mark Charman, CEO dan pendiri perusahaan rekrutmen penerbangan Goose Recruitment, mengatakan ketika krisis mendorong para pilot veteran meninggalkan pekerjaan, kemungkinan besar maskapai juga kekurangan sumber daya untuk merekrut pilot-pilot baru, terutama ketika dibutuhkan bayaran US$150.000 untuk mendapatkan kualifikasi penerbangan komersial.

"Pilot berpengalaman yang meninggalkan pekerjaan dan tidak adanya cukup bakat baru yang bergabung akan mendorong kekurangan tenaga kerja berkualifikasi di masa depan yang besar," kata Charman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Reni Lestari

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper