Bisnis.com, JAKARTA - Masyarakat dinilai memiliki rasa takut jika gelombang kedua Covid-19 terjadi di Indonesia. Namun, ketakutan itu tidak diiringi dengan perilaku yang memadai untuk mencegah penularan wabah tersebut.
Hal itu disampaikan Ketua Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Pratiwi Sudarmono.
"Masyarakat takut, tetapi mereka leluasa untuk pergi ke sana ke mari tanpa masker, berkerumun, minum kopi, ke restoran, dan lain-lain," kata Pratiwi saat jumpa pers Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang dipantau dari akun Youtube BNPB Indonesia di Jakarta, Selasa (2/6/2020) seperti dikutip Antara.
Sementara berdasar catatan Bisnis.com, Pratiwi juga mewanti-wanti ihwal kemungkinan adanya gelombang kedua pandemi Covid-19 di sejumlah daerah di Indonesia. Hal itu dapat terjadi karena virus Covid-19 bisa bermutasi secara kontinyu.
“Gelombang kedua bisa saja terjadi karena sekarang pergerakan luar biasa dari masyarakat. Kemarin lebaran, orang mudik dan kembali lagi ke DKI Jakarta. Ada pergerakan yang banyak,” kata Pratiwi.
Belum lagi, menurut Pratiwi, adanya kepulangan pekerja migran Indonesia (PMI) ke tanah air belakangan ini.
Baca Juga
“Sementara itu virus itu setiap waktu melakukan perubahan pada dirinya. Melakukan mutasi secara kontinu karena dia merupakan virus RNA,” kata Pratiwi.
Dengan demikian, lanjut Pratiwi, virus itu dapat berkembang di suatu daerah dengan jumlah yang lebih banyak dari sebelumnya. Apalagi, saat ini tidak ada lagi pembatasan yang jelas dan masyarakat cenderung tidak memerhatikan protokol kesehatan.
“Sehingga tidak ada orang yang kerja dari rumah misalnya. Maka dengan sendirinya kemungkinan tertular itu tinggi,” ujarnya.
Pratiwi menegaskan ketika tidak ada pembatasan dan orang tidak takut untuk keluar rumah, dengan sendirinya kemungkinan tertular menjadi tinggi.
Pratiwi menambahkan memang terdapat beberapa varian virus Corona penyebab COVID, tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna. Dari beberapa varian tersebut, bisa diketahui dari mana virus tersebut berasal.
"Sayangnya kita tidak cukup banyak melakukan sequencing terhadap virus ini. Misalnya, saya pernah terpapar dan positif, kemudian sembuh. Lalu dua minggu kemudian positif lagi. Kalau virusnya sama berarti terjadi reaktivasi. Kalau berbeda-beda berarti terjadi reinfeksi," kata Pratiwi.
Menurut Pratiwi, seseorang yang pernah terpapar COVID-19, baik kemudian sakit atau tidak, secara otomatis di dalam tubuhnya akan terbentuk kekebalan.
Namun, meski sudah terbentuk kekebalan, di kemudian hari bisa saja terpapar kembali dan ketika dites secara cepat hasilnya positif.