Bisnis.com, JAKARTA - Hong Kong akhirnya "bertekuk lutut'. Salah satu hub bisnis Asia itu resmi berada dalam pelukan Undang-Undang Keamanan Nasional China.
Sidang Umum Kongres Rakyat Nasional (NPC) di Beijing, Kamis (28/5/2020), menjadi kata akhir lepasnya "kekhasan" Hong Kong selama ini yang berada di bawah China tapi memiiliki nuansa kebebasan tersendiri.
Sebagian besar perwakilan NPC pada penutupan sidang tahunan tersebut menyetujui Keputusan tentang Peningkatan Sistem dan Mekanisme Penegakan Hukum di Wilayah Administrasi Khusus Hong Kong (HKSAR) dalam Stabilitas Keamanan Nasional.
Kerusuhan sosial yang berkepanjangan dan meningkatnya kekerasan di jalanan mengakibatkan Hong Kong terjerumus dalam situasi terburuk sejak dikembalikan ke China pada 1997.
Legislator senior Wang Chen mengatakan risiko keamanan nasional yang makin mengemuka di Hong Kong menjadi pokok persoalan.
Ada yang tidak sinkron dalam sistem hukum di Hong Kong dengan mekanisme penegakannya dalam memelihara stabilitas keamanan nasional China, sebut Wang yang juga Wakil Ketua Komite Tetap NPC kepada pers seperti dikutip Antara.
Atas pertimbangan situasi Hong Kong saat ini, dia mendorong berbagai upaya di tingkat pemerintah pusat untuk menetapkan dan meningkatkan sistem dan mekanisme penegakan hukum di Hong Kong demi terciptanya stabilitas keamanan nasional.
Sidang Umum NPC berlangsung sejak Jumat (22/5) dan menjadi pertemuan pertama yang melibatkan ribuan anggota legislatif di tengah pandemi.
Sidang tahunan dewan legislatif terbesar di dunia tersebut biasanya digelar setiap bulan Maret, namun tertunda gara-gara wabah Covid-19 melanda China.
Sebelumnya sejumlah kelompok prodemokrasi melakukan aksi turun jalan untuk memprotes RUU tersebut.
Serangan Balasan ke AS
Langkah China atas Hong Kong dinilai sebagai serangan balasan kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Trump selama ini menentang keras penerapan UU Keamanan Nasional China atas Hong Kong.
Trump berpendapat bahwa aturan tersebut akan mengekang kebebasan berpendapat di kota dagang tersebut.
Apa pun keberatan Trump, Kongres China menyetujui telah draf tersebut. Sebanyak 2.878 suara menyatakan setuju, 1 suara menolak dan 6 abstain. Kini Pemerintah China memiliki waktu untuk merumuskan detil regulasi yang berisi pelarangan subversi, pemisahan diri, terorisme, dan campur tangan asing sebelum akhirnya diterapkan di Hong Kong.
Keputusan ini sekaligus memotong jalur yang seharusnya dibahas melalui Dewan Legislatif Lokal.
Perdana Menteri China Li Keqiang memastikan bahwa kebijakan satu negara dengan dua sistem terhadap Hong Kong tidak berubah dengan adanya regulasi ini.
“Pemerintah pusat sepenuhnya menerapkan secara penuh dan setia supaya sistem ini tetap berjalan,” kata PM Li di Bejing, dikutip Bloomberg, Kamis (28/5/2020).
Menurut Li kebijakan ini akan membantu stabilitas jangka panjang dan kemakmuran Hong Kong.
Sanksi AS
Presiden AS Donald Trump sebelumnya menegaskan bahwa kebijakan yang diterapkan China akan membuat Hong Kong tidak lagi menjadi sebuah daerah semi otonom. Padahal, kondisi semi otonom itu yang dijanjikan Inggris ketika menyerahkan kota ini ke China pada 1997.
Keputusan China atas Hong Kong juga membuka peluang bagi Gedung Putih untuk memberikan sanksi. Hong Kong tidak akan lagi mendapatkan status istimewa dalam hubungan perdagangan dengan AS.
“Hong Kong sekarang tidak akan mendapatkan perlakuan khusus dari hukum AS seperti yang terjadi sebelum Juli 1997. Tidak ada satu orang pun yang bisa menjamin bahwa Hong Kong akan mempertahankan status otonominya, mengingat fakta yang terjadi di lapangan,” jelas Menlu AS Michael Pompeo.
Negara-negara lainnya juga mengungkapkan kekhawatiran yang sama dengan AS. Jepang menyatakan langkah China atas Hong Kong memicu kekhawatiran yang serius. Sementara itu Taiwan merilis rencana untuk membantu masyarakat Hong Kong yang ingin keluar dari kota itu.
Investor Diprediksi Hengkang
Regulasi UU Keamanan Nasional atas Hong Kong diprediksi akan memunculkan risiko adanya protes besar-besaran. Tak hanya itu, banyak perusahaan asing diprediksi akan hengkang dari kota yang saat ini menjadi hub bagi industri finansial di Asia.
"Dalam beberapa kasus di mana klien mengalami sedikit inersia dan berharap hal-hal yang terjadi tahun lalu akan hilang, kini mereka malah akan berupaya mengurangi risiko atas konsentrasi kekayaan mereka di sini," kata seorang bankir senior di sebuah bank swasta Eropa seperti dikutip ChannelNewsAsia.com, Jumat (22/5/2020).
Dia mengatakan pada tahun lalu banyak kliennya mengajukan rencana alternatif dan akan memindahkan aset keluar dari Hong Kong. Dia mengaku sudah menerima beberapa pertanyaan untuk mengaktifkan rencana itu sekarang, kata bankir yang perusahaannya mengelola aset di atas US$200 miliar trsebut.
Bankir tersebut menolak disebutkan namanya karena tidak berwenang untuk berbicara kepada media.
Pada Jumat (22/5/2020) indeks pasar saham utama Hong Kong tercatat turun lebih dari 5 persen.
Secara global, Hong Kong berada di peringkat kedua dalam kekayaan per orang dewasa setelah Swiss pada pertengahan 2019. Kota ini berada di peringkat ke-10 dalam hal jumlah individu dengan kekayaan sangat tinggi atau mereka yang memiliki aset lebih dari US$50 juta, menurut Credit Suisse.
Hong Kong bersaing ketat dengan Singapura sebagai pusat keuangan utama Asia. Bank swasta global termasuk Credit Suisse dan UBS, serta para manajer kekayaan Asia memiliki operasi regional mereka di dua hub tersebut.
"Kami memiliki contoh saat klien mempertimbangkan untuk berinvestasi di Hong Kong. Tetapi karena protes pada tahun 2019, mereka memutuskan untuk pindah ke Singapura sebagai gantinya," kata Rahul Sen, seorang klien perusahaan itu yang berbasis di London.
Lantas, apakah Hong Kong akan ditinggalkan dan Singapura menjadi pilihan utama para investor atau mereka akan berpaling ke tempat lain seperti Vietnam? Bagaimana peluang Indonesia?
Kita nantikan saja apa yang akan terjadi ke depan.