Bisnis.com, JAKARTA — Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan bahwa terdapat tiga kriteria yang harus dipenuhi untuk melakukan penyesuaian pembatasan sosial. Indonesia belum memenuhi persyaratan untuk melakukan pelonggaran.
Kepala Bappenas/Menteri PPN Suharso Monoarfa menjelaskan bahwa sulit untuk memperkirakan kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil langkah yang terukur dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dalam menentukan kebijakan.
Salah satu kebijakan yang menjadi perhatian adalah rencana penyesuaian atau pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). DIa menjelaskan bahwa merujuk kepada saran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terdapat tiga kriteria langkah kesehatan yang harus dipenuhi jika hendak melakukan pelonggaran pembatasan sosial.
Pertama, yang menjadi syarat mutlak adalah terpenuhinya kriteria epidemologi dengan indikator angka reproduction rate (Rt) atau reproduksi efektif harus mencapai di bawah 1 selama dua pekan. Untuk mencapai itu, angka reproduksi (R0) atau tren kasus baru harus berada di bawah 1 selama dua pekan.
"Indonesia R0-nya sekitar 2,5, untuk dunia ada di rentang 1,9–5,7. Kita bersama-sama berharap bisa menekan angka reproduksi efektif, agar Rt bisa lebih kecil dari 1 selama 14 hari," ujar Suharso pada Kamis (21/5/2020).
Kriteria epidemologi untuk pelonggaran PSBB dapat terpenuhi dengan adanya data tren kasus baru untuk R0 dan data penurunan kasus baru minimal 50 persen sejak titik puncak.
Baca Juga
Setelah syarat mutlak terpenuhi, terdapat dua kriteria lainnya yang merupakan syarat pertimbangan. Syarat kedua, yakni kualitas sistem kesehatan yang terlihat dari kemampuan menangani kasus baru Covid-19.
Suharso menjelaskan bahwa indikator kriteria tersebut terpenuhi adalah terdapat maksimal 60 persen dari kapasitas tempat tidur rumah sakit dan instalasi gawat darurat (IGD) yang diperuntukkan bagi perawatan pasien suspek dan terjangkit Covid-19.
"Kenapa 60 persen? Karena bukan hanya Covid-19 yang harus mendapatkan pelayanan medis, 60 persen ini bisa menampung [pasien] yang terpapar baru. Kalau bisa angka terpapar baru itu lebih rendah dari kapasitas rumah sakit," ujarnya.
Kriteria kedua itu dapat dipenuhi dengan adanya data kapasitas rumah sakit per 1.000 penduduk, proyeksi kasus baru yang memerlukan perawatan lebih kecil dari kapasitas rumah sakit, jumlah tempat tidur yang dilengkapi ventilator, dan data ruang isolasi.
Adapun, kriteria ketiga, adalah survei yang mencakup kapasitas pengetesan Covid-19. Untuk melakukan penyesuaian PSBB, pemerintah harus memiliki kapasitas tes laboratorium yang cukup dan memiliki strategi tes yang jelas.
WHO menyaratkan jumlah tes per 1 juta penduduk bisa mencapai 3.500 jika hendak melakukan pelonggaran PSBB. Adapun, kapasitas Indonesia masih sebanyak 1.838 tes per 1 juta penduduk pada 19 Mei 2020.
"Seperti yang diketahui, [secara nasional] masih rendah sekali. Yang menarik adalah di Jakarta sudah mencapai sekitar 5.500 per 1 juta penduduk," ujar Suharso.
Sebagai perbandingan, negara tetangga Malaysia mencatatkan angka 14.304 tes per 1 juta penduduk, Thailand 4.099, Vietnam 2.828, dan Filipina 2.238. Selain itu, kapasitas tes di India sebanyak 1.744 dan Brazil 3.462.
Kriteria ketiga dapat dipenuhi dengan tersedianya data kapasitas tes per hari di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, surveilans kematian di rumah sakit dan masyarakat, pelaporan total tes laboratorium setiap hari, isolasi kasus Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan Orang Dalam Pemantauan (ODP), serta sejumlah data lainnya.