Bisnis.com, JAKARTA - Hari ini tepat 22 tahun lalu rezim Orde Baru tumbang, ditandai dengan pernyataan lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan.
Sebelum Orba jatuh, banyak cara dilakukan agar Presiden Soeharto tidak lagi berkuasa. Aksi turun ke jalan hingga aksi spiritual termasuk di dalamnya.
Di Istana Merdeka, Kamis 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI.
Tak berselang lama, setelah Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, BJ. Habibie membacakan sumpah sebagai Presiden RI di hadapan Hakim Agung Sarwata.
Pergeseran kepemimpinan negara dari Soeharto ke Habibie saat itu terkesan cepat dan lancar. Tak ada interupsi sama sekali. Walau sebenarnya, sebelum Presiden Soeharto menyatakan mundur, banyak pergerakan dan lobi politik yang terjadi.
Di Istana, setelah Presiden Soeharto menyatakan mundur, Wiranto sebagai Panglima ABRI menyatakan akan menjaga keselamatan presiden yang baru lengser tersebut.
Lengsernya Soeharto dari jabatan Presiden Republik Indonesia, setelah 32 tahun berkuasa disambut banyak pihak dengan suka cita.
Tak sedikit masyarakat yang mengekspresikan kegembiraan atas runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Mencukur rambut hingga tandas, licin, adalah salah satu ekspresi yang dilakukan sejumlah warga saat itu.
Rambut yang habis dicukur, bahkan kepala dikerik plontos, bagai isyarat lepasnya tekanan yang mengimpit cukup lama.
Bagi mereka yang merasakan masa-masa Orba, diakui atau tidak, akan merasakan sempitnya ruang kebebasan untuk berekspresi.
Hal itu tak lepas dari fokus pemerintah yang mengutamakan pertumbuhan yang mensyaratkan terjaganya stabilitas. Kredo pertumbuhan tersebut dikritik banyak pihak mengorbankan demokrasi dan membungkam suara kritis.
Jauh sebelum Orba Jatuh, berbagai perlawanan terutama di kampus-kampus terus digemakan. Di luar upaya-upaya perlawanan wacana oleh sejumlah tokoh kritis, sejumlah aktivis mahasiswa dan pemuda juga tak henti "menganggu" citra pemerintahan.
Mereka, para "pengganggu" ini kemudian masuk dalam catatan pihak-pihak yang terkait dengan keamanan, mulai dari ditjen sospol di Depdagri, intel di lapangan, atau pihak bakorstanas/bakostanasda.
Di luar perlawanan yang logis dan riil, perlawanan supranatural pun dilakukan terkait keinginan agar kekuasaan Orba bisa segera jatuh.
Hal itu tidak terlepas dari wacana yang berkembang saat itu bahwa Presiden Soeharto dikelilingi banyak penasihat dan kekuatan spiritual.
Bahkan, di kalangan aktivis saat itu ada anekdot bahwa orang yang berniat untuk tidak mengangguk pun, saat berhadapan dengan Presiden Soeharto akan otomatis menganggukan kepalanya.
Wacana soal penasihat dan kekuatan spiritual itu melahirkan kontrawacana. Muncul anggapan bahwa untuk melawan kekuatan spiritual yang mengelilingi Soeharto harus dilakukan dengan laku spiritual juga.
Dalam sebuah obrolan di kalangan aktivis kampus, sebelum Orba jatuh, muncul wacana bahwa kekuatan supranatural Presiden hanya bisa dikalahkan oleh aksi puasa para pemuda.
Tentu saja hal itu sama sekali bukan wacana yang rasional. Tapi. bukan berarti tak ada anak muda yang melakukannya.
Takdir akhirnya menentukan bahwa Presiden Soeharto harus meletakkan jabatan dan melepas kekuasaan yang sudah dipegangnya selama 32 tahun.
Beragam versi mengiringi lengsernya Presiden Soeharto dari kursi kekuasaan, salah satunya karena Pak Harto tidak ingin terjadi pertumpahan darah antaranak bangsa.
Detik-detik menjelang mundurnya Presiden Soeharto, sebuah kalimat yang berasal dari pernyataan Budayawan Emha Ainun Najib menjadi begitu populer. Saat itu, Emha mengatakan, "Ora Dadi Presiden, Ora Pathèken" yang artinya tidak jadi Presiden pun tidak akan menderita patheken.
Patheken atau patek adalah penyakit kulit yang juga dikenal dengan frambusia. Menurut kamus frambusia adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh bakteri yang penularannya melalui kontak langsung. Patek atau frambusian ini juga dikenal dengan istilah puru.
Presiden Soeharto tentu punya perhitungan sendiri mengapa memutuskan untuk mundur. Mitos puasa untuk tumbangkan rezim, juga wacana soal patheken menjadi bagian dari kisah di balik tumbangnya kekuasaan Orde Baru.
Pidato Penguduran Diri Soeharto
Hanya dalam waktu kurang lebih 10 menit Preside Soeharto melepaskan kekuasaan yang digenggamnya selama sekitar 32 tahun.
Presiden Soeharto menyampaikan pidato singkat, dalam suasana yang bahkan dari layar televisi pun tampak mencekam. Pidato itu menjadi penanda berakhirnya pemerintahan Orde Baru.
Berikut isi pidato Presiden Soeharto:
Assalamual’aikum warahmatullahi wabarakatuh Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut, dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi tersebut perlu dilaksanakan secara tertib, damai dan konstitusional demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII.
Namun demikian, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, kamis 21 Mei 1998.
Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia, saya sampaikan di hadapan Saudara-saudara pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang juga adalah pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sesuai dengan Pasal 8 UUD ’45, maka Wakil Presiden Republik Indonesia Prof. H. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini, saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangannya. Semoga Bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 45-nya.
Mulai ini hari Kabinet Pembangunan ke VII demisioner dan pada para menteri saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya Saudara Wakil Presiden sekarang juga agar melaksanakan pengucapan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung Republik Indonesia.