Bisnis.com, JAKARTA – Wabah virus corona secara global, yang memicu penyakit pnemounia akut Corona virus disease (Covid-19), pelan tapi pasti, terbukti menurunkan populasi umat manusia. Fakta ini sudah terjadi.
Menurut data Worldometer, hingga Senin 27 April 2020, total kasus global mencapai 2.995.757 kasus dengan angka kematian mencapai 207.022 jiwa. Adapun, pasien yang diklaim telah sembuh menyentuh 881.845 orang.
Sementara itu, lima besar kasus Covid-19 dunia masih tak berubah, yaitu tetap diduduki oleh negara-negara Barat. Angkanya bahkan masih cenderung meningkat. Kelimanya berturut-turut adalah Amerika Serikat (AS), Spanyol, Italia, Prancis, dan Jerman.
AS kini telah menjadi episentrum dunia untuk Covid-19 karena begitu besarnya jumlah kasus dan tingkat kematian yang tinggi. Pada hari yang sama, total kasus Covid-19 di AS mencapai 987.322 kasus, termasuk kasus baru 162. Adapun, total kematian sebesar 55.415 orang dan total kesembuhan 118.781 orang.
Sejak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020, pertanyaan umum yang sering diajukan orang-orang adalah kapan puncak dari outbreak virus corona ini akan terjadi? Berapa banyak orang di dunia yang akan terinfeksi? Kapan wabah ini akan lenyap?
Pada saat China melakukan locked down total Kota Wuhan pada 23 Januari 2020, penyebaran virus corona ke kota-kota lain dapat dicegah. Penelitian ilmuwan setempat menyatakan ada sekitar 700.000 kasus Covid-19 berhasil diantisipasi rerata selama 2,9 hari setelah kebijakan itu diterapkan.
Setelah itu, locked down ala Wuhan ini menjadi tren di sejumlah negara. Ada pula yang memodifikasi locked down berdasarkan kebutuhan dan pertimbangan sosial politik yang berlaku di suatu negara.
Jenis kebijakan pembatasan sosial dan penghentian seluruh aktivitas manusia secara masif, kecuali untuk kebutuhan dasar, terpaksa ditempuh untuk mencegah penyebaran virus tidak meluas lagi.
Ini dilakukan mengingat sampai saat ini tak ada obat antivirus efektif yang mampu menyembuhkan infeksi Covid-19, kecuali isolasi mandiri bagi pasien yang diikuti terapi manajemen hospitalisasi.
Oleh karena itu, memprediksi kapan puncak pandemi mencapai titik baliknya (turning point), seberapa lama wabah ini bertahan di setiap negara, ditangkap sebagai poin krusial oleh para pengambil kebijakan serta otoritas kesehatan masyarakat.
Covid-19 ini merupakan penyakit yang berasal dari virus keluarga corona jenis baru. Para ilmuwan belum dapat menentukan parameter kunci infeksi seperti periode inkubasi hingga seberapa lama periode infeksi dapat berlangsung. Semua masih dilingkupi ketidakpastian.
Apalagi, ini belum mencakup pola kontak sosial yang terbilang sangat kompleks. Oleh karena itu, membuat suatu prediksi kapan Covid-19 akan berakhir menjadi pekerjaan yang cukup pelik dan menantang. Ini karena secara prinsip, metode prediksi wabah Covid-19 berbeda dengan kasus-kasus virus lain yang telah terjadi sebelumnya.
NEGARA BARAT
Namun, Xiaolei Zhang, Renjun Ma, dan Lin Wang, dari Fakultas Matematika dan Statistik, Universitas New BrunsWick, Kanada, berusaha membikin prediksi itu. Mereka menciptakan ramalan saintifik itu berdasarkan kajian matematika.
Penelitian tersebut memfokuskan diri pada kasus Covid-19 yang terjadi di negara-negara Barat yang terbilang terpapar sangat parah dan cukup parah oleh Covid-19 seperti Prancis, Jerman, Italia, AS, Inggris, dan Kanada. Keenam negara ini merupakan anggota dari kelompok G-7.
Dalam artikelnya berjudul, Predicting Turning Point, Duration and Attack Rate of Covid-19 Outbreaks in Major Western Countries (20 April 2020), prediksi matematis ini mereka namai Segmented Poisson Model.
Selain dibuat berdasarkan tren data kasus baru yang masuk secara harian, intervensi pemerintah negara-negara tersebut dalam menangani Covid-19, menentukan faktor permodelan analisisnya.
Adapun, intervensi pemerintah yang dimaksud di antaranya adalah kebijakan pembatasan sosial, kerja dan beraktivitas dari rumah, locked down, hingga karantina.
Menurut Zhang, data kasus baru harian dapat memprediksi tren masa puncak, durasi, sehingga total jumlah kasus secara umum dapat dipetakan di setiap negara tersebut.
Penelitian itu mengambil data sejak awal kejadian kasus mewabah di Eropa, AS dan Kanada hingga 9 April 2020 dari Wind Database, situs resmi penanggulangan Covid-19 dari pemerintah AS dan Kanada. Adapun, hasil prediksinya adalah sebagai berikut.
Memprediksi Berakhirnya Pandemi di Negara-Negara Anggota G-7 | ||||
---|---|---|---|---|
Negara | Titik Balik (Range Waktu) | Jumlah Akhir Kasus | Durasi | Tingkat Serangan |
Prancis | 7 April (3 April-12 April) | 219.583 | 1 Februari-10 Juni | 0,3364% |
Italia | 26 Maret (24 Maret-28 Maret) | 172.451 | 31 Januari-1 Juni | 0,2852% |
AS | 7 April (3 April-9 April) | 835.158 | 21 Januari-3 Juni | 0,2523% |
Inggris | 9 April (3 April-15 April) | 133.206 | 31 Januari-5 Juni | 0,1962% |
Jerman | 31 Maret (23 Maret-9 April) | 159.437 | 28 Januari-1 Juni | 0,1903 |
Kanada | 6 April (29 Maret-16 April) | 33.948 | 27 Januari-21 Mei | 0,0899% |
Mereka menyimpulkan bahwa wabah Covid-19 di negara-negara maju yang terpapar sangat parah akan mereda sekitar awal Juni 2020.
Dari keenam negara itu, tulisnya, Prancis diprediksi memiliki tingkat serangan (attack rate) tertinggi yaitu 0,3364%, sedangkan Kanada terendah (0,0899%). Adapun, AS menjadi negara yang memiliki kasus terbanyak yaitu 835.158 kasus.
Secara prorata, titik balik akan terjadi pada hari ke-69 dari jarak 56—78 hari saat kasus merebak. “Jika kebijakan pemerintah di keenam negara tersebut tak berubah, wabah tersebut akan berakhir sekitar awal Juni 2020, dengan jarak waktu antara 21 Mei sampai 10 Juni. Adapun, rerata durasi wabah adalah 127 hari,” terangnya.
Dia juga memberi catatan bahwa apabila kebijakan ketat pembatasan sosial ataupun locked down tidak dijalankan penyebaran virus corona akan lebih masif dan tumbuh secara eksponensial.
Kita tunggu saja sampai Juni nanti, apakah prediksi ini benar atau sebaliknya. Namun, kita sama-sama berharap kalau bisa, wabah ini akan berakhir esok hari saat bangun pagi.