Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Catatan Sandyawan soal Potensi Kerusuhan di Tengah Krisis Pandemi

Adapun operasi intelijen itu, dia menggarisbawahi, mungkin terjadi apabila pemerintah di tengah kegelisahan, keresahan dan kemarahan masyarakat akibat krisis pandemi Covid-19 semakin tidak peduli.
Kerusuhan saat krisis moneter di Jakarta, Mei 1998./Dok.Bisnis Indonesia
Kerusuhan saat krisis moneter di Jakarta, Mei 1998./Dok.Bisnis Indonesia

Bisnis.com, JAKARTA - Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Sandyawan Sumardi menilai krisis ekonomi yang ditandai dengan masifnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah masyarakat akibat pandemi Covid-19 tidak berpotensi menimbulkan kerusuhan.

“Sejauh tidak ada operasi intelijen gerakan militer seperti 1998, maka belum bisa dikatakan ada kemungkinan terjadi kerusuhan seperti tragedi 12-15 Mei 1998,” kata Sandyawan melalui pesan tertulis kepada Bisnis, Jakarta, pada Kamis (23/4/2020).

Karena, dia menerangkan, pada Tragedi Mei terdapat krisis moneter sehingga jurang di antara orang kaya dan miskin begitu signifikan. Selain itu, dia mengimbuhkan, ada konflik antar elit dalam tubuh ABRI pada saat itu.

“Akibat AD terlalu diistimewakan oleh Soeharto ketimbang AU, AL dan Kepolisian. Lalu ada pula kenyataan konflik etnis dan agama serta masalah sosial di daerah-daerah seperti Aceh, Timor Leste, Ambon, dan Poso. Tapi, sekali lagi Tragedi Mei 1998 adalah operasi militer,” tuturnya.

Adapun operasi intelijen itu, dia menggarisbawahi, mungkin terjadi apabila pemerintah di tengah kegelisahan, keresahan dan kemarahan masyarakat akibat krisis pandemi Covid-19 semakin tidak peduli. Sikap itu, menurut dia, terlihat ketika pemerintah terus melanjutkan pembahasan pembangunan ibu kota baru, omnibus law RUU Cipta Kerja dan korupsi birokrasi.

“Kalau masyarakat demikian marah, mau meledak, bisa dipastikan akan dicari, dijebak kambing hitam dari seluruh ketidakmampuan pemerintah, dengan mengutamakan darurat sipil dan militer sekaligus,” ungkapnya.

Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) mencatat hingga 7 April sebanyak 1,2 juta orang pekerja terkena pemutusaan hubungan kerja (PHK) dan di rumahkan akibat melambatnya perekonomian imbas Covid-19.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menyebutkan sektor formal yang dirumahkan dan di-PHK melingkupi 39.977 perusahaan. Sektor ini mencakup 1.010.579 orang tenaga kerja.

Rinciannya, sebanyak 873.090 pekerja dan buruh dirumahkan dari 17.224 perusahaan. Serta 137.489  pekerja dan buruh kena PHK di 22.753 perusahaan.

Sementara jumlah perusahaan dan tenaga kerja terdampak di sektor informal sebanyak 34.453 perusahaan dan jumlah pekerjanya sebanyak 189.452 orang. 

"Total jumlah perusahaan yang merumahkan pekerja dan PHK sebanyak 74.430 perusahaan," kata Menaker Ida, Rabu (8/4/2020).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper