Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

AS dan China Diminta Berdamai untuk Cari Solusi Covid-19

Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong mengungkapkan bahwa perseteruan antara AS-China tidak akan membuahkan solusi untuk menekan pandemi Covid-19.
Presiden China Xi Jinping, Ibu Negara China Peng Liyuan, Presiden AS Donald Trump dan Ibu Negara AS Melania menghadiri makan malam kenegaraan di Aula Besar Rakyat di Beijing, Cina, 9 November 2017./Reuters
Presiden China Xi Jinping, Ibu Negara China Peng Liyuan, Presiden AS Donald Trump dan Ibu Negara AS Melania menghadiri makan malam kenegaraan di Aula Besar Rakyat di Beijing, Cina, 9 November 2017./Reuters

Bisnis.com JAKARTA - Perang dingin AS-China masih saja berlanjut di tengah pandemi virus Corona atau Covid-19.

Alih-alih lanjut saling tuding, banyak pihak berharap kedua negara dengan ekonomi terkuat di dunia ini bisa bergandeng tangan untuk menciptakan perbaikan kondisi wabah.

Hal ini dimulai dari ungkapan rasis Presiden Donald Trump yang menyebut Covid-19 sebagai virus China atau ‘chinese virus’ yang diungkapkan melalui akun twitter miliknya pada 17 Maret 2020.

Dalam cuitannya, dia mengatakan AS akan mendukung industri tersebut seperti maskapai penerbangan dan lainnya yang terdampak oleh virus China. AS akan lebih kuat dari sebelumnya. Hal ini memicu kritik dari berbagai kalangan.

Persis sepekan setelahnya, Trump berusaha memperbaiki ketegangan dengan menunjukkan kepeduliannya kepada warga AS keturunan Asia.

“Mereka adalah orang yang hebat. Penyebaran virus bagaimanapun bukan salah mereka. Mereka bekerja bersama kita untuk memberantas virus. Kita akan menang bersama,” cuitnya.

Sebelumnya, China sudah lebih dulu menciptakan teori konspirasi tentang munculnya virus Corona. Mereka menuding bahwa penyakit ini dibawa oleh tentara AS yang datang ke Wuhan pada Oktober 2019. Hal itu dikutip dari laporan New York Times, 13 Maret 2020.

Tentu hal tersebut tak bisa dibuktikan. Tuduhan tersebut datang dalam serangkaian posting-an Twitter Zhao Lijian, seorang juru bicara kementerian. Dia memanfaatkan platform ini yang sebetulnya diblokir di China. Hal ini digunakan mendorong strategi diplomatik yang baru dan agresif.

Bisa jadi cara ini juga dilakukan untuk mengalihkan perhatian dunia dari kesalahan langkah China dalam menghadapi pada masa awal munculnya epidemi.

Para pejabat senior China menyebut epidemi itu sebagai virus Wuhan. Bahkan seorang senator mengisyaratkan dengan keliru bahwa epidemi itu dimulai dengan bocornya senjata biologis Tiongkok.

"Kader kecil dari banyaknya pejabat China tampaknya tidak menyadari bahwa teori konspirasi semacam ini tidak berguna bagi China di saat mereka ingin dilihat sebagai kontributor positif di seluruh dunia," kata Julian B. Gewirtz, seorang sarjana di Weatherhead Center urusan luar negeri di Harvard.

Dalam laporan yang dirangkum oleh Channel News Asia pada Minggu (29/3/2020), Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong mengungkapkan bahwa perseteruan antara AS-China tidak akan membuahkan solusi untuk menekan pandemi Covid-19.

“Hubungan AS-Cina sudah rumit bahkan sebelum ini. Tetapi jika kita akan berurusan dengan virus ini, Anda harus membuat semua negara bekerja sama, khususnya, AS dan China,” katanya saat diwawancarai oleh CNN.

Dia menilai AS yang memiliki sumber daya, ilmu pengetahuan dan rekam jejaknya dalam menghadapi epidemi harus bisa memimpin dalam menghadapi masalah ini. “Jika Amerika berada dalam mode yang berbeda, kita akan tetap bertahan. Saya pikir konfigurasi lain pada akhirnya akan berhasil, tetapi itu akan menjadi kerugian," tutur Lee.

Dalam wawancara di saluran CNBC International pada 25 Maret lalu, Chairman Amcham China Greg Gilligan mengungkapkan harapannya AS dan China bisa membangun hubungan bilateral semakin melunak.

“Semoga mereka menggunakan nada yang berbeda terkait diplomasi sehingga ada aksi kerja sama. Entah kebijakan bank sentral atau dimulainya kembali langkah-langkah kerja sehingga mendukung bisnis, masyarakat, dan ekonomi,” katanya.

Amcham China yang juga merilis riset yang melibatkan 120 anggotanya yang terdiri dari perusahaan Amerika dan multinasional di China.

Pendapatan mereka turun hingga 28 persen dibandingkan bulan lalu. Sebanyak 39 persen perusahaan melaporkan penurunan permintaan produk mereka. Namun, hampir seperempat anggotanya mengharapkan bisnis kembali normal hingga akhir April ke depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Nindya Aldila
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper