Bisnis.com, JAKARTA - “Kita yang begitu percaya dengan teknologi tiba-tiba sekarang berhadapan dengan lorong gelap tanpa ujung,” tutur Pakar Filsafat Yunani Klasik dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Romo Setyo Wibowo, saat disambangi Bisnis kemarin malam, Minggu ( 29/3/2020), di Kolose Hermanum, Jakarta. Baginya, situasi ini, mirip dengan apa yang pernah ditulis oleh Albert Camus, filsuf sekaligus sastrawan, di dalam roman La peste.
Roman itu berkisah tentang sebuah kota di sebelah barat Aljazair bernama Oran yang dilanda wabah pes akibat baksil pada tikus. Seketika, sebagian penduduk Kota Oran tewas, dan kota yang sibuk bergeming sunyi. Pemerintah Kota Oran belakangan sadar dan mulai menutup wilayahnya.
Dilansir dari theguardian.com, di Inggris, penjualan buku La Peste melonjak tajam sampai di angka 2.156 yang sudah terjual di awal Maret 2020. Atau, The Guardian melaporkan, 1504 buku terjual per minggu dengan pembaca generasi muda. Fenomena yang sama terjadi di Prancis, Setyo menuturkan, terdapat permintaan yang signifikan untuk pembelian buku La peste yang bercerita tentang bagaimana manusia berhadapan dengan absurditas.
Bisnis mencoba mencari kesinambungan makna di antara Roman La peste yang ditulis Albert Camus di masa Perang Dunia II dengan wabah Covid-19 hari ini.
Siapa Albert Camus, mengapa ia muncul tiba-tiba di tengah wabah Covid-19 yang tengah dihadapi masyarakat dunia?
Albert Camus adalah seorang sastrawan, seniman, wartawan sekaligus filsuf yang terkenal dari Prancis. Camus masuk dalam aras pemikiran eksistensialisme, satu angkatan dengan Jean-Paul Sartre. Dia juga akan terkenal karena novelnya, La peste (Sampar), terbit pada tahun 1947. Ada yang mengatakan berkat novelnya itu, Camus lalu mendapatkan hadiah Nobel pada tahun 1957. Tiga tahun setelahnya Camus meninggal karena kecelakaan mobil.
Albert Camus mengalami pendudukan Jerman, saat Perang Dunia Kedua, sebagai orang Prancis ia ikut gerilya melawan tentara Jerman, lalu sebagai orang Prancis yang lahir dan tinggal di Aljazair, ia juga punya kecintaan pada Aljazair. Kita tahu Aljazair waktu itu departemen dari Perancis. Sehingga, Camus juga ada semacam gairah pemberontakan terhadap Prancis, cukup rumit memang.
Mengapa Albert Camus kemudian relevan untuk diperbincangkan berkaitan dengan wabah Covid-19 yang telah menewaskan 32.146 orang di seluruh dunia atau 114 orang di Indonesia per 29 Maret 2020?
Dalam situasi perang saat itu, ketika hidup begitu murah, kematian datang tiba-tiba, kita tidak bisa menjelaskan mengapa ada kebhatilan, banyak pertanyaan itu lantas membuat Camus mengeksplorasi sastra, saya kira, La peste, menggambarkan bagaimana manusia hidup dalam situasi Absurd.
Abdurd berarti tidak logis, tidak bisa dijelaskan, penjelasan apapun yang diberikan tidak masuk akal. Camus kemudian menjadi menarik, karena justru di tengah situasi absurd itu, dia lantas tidak lempar handuk atau bunuh diri melainkan bertindak secara moral, membantu sesama, meskipun juga tanpa terlalu banyak berharap.
Kebhatilan dalam konteks La peste tentu kejahatan Nazi yakni pendukukan, eksterminasi, pembunuhan tanpa alasan, kebengisan itu lalu, dibahasakan lewat roman La peste.
Berapa lama Camus menulis La peste? Riset apa saja yang ia lakukan?
Novel La peste sendiri mulai ditulis dalam bentuk catatan-catatan dan berbagai observasi sejak 1938, namun baru pada 1941, saat Camus pulang ke Kota Oran yang terletak di bagian barat Aljazair, ia mulai menuliskan kisahnya. Ia mempelajari wabah pes yang terbentang dari naskah kitab suci, buku sejarah Yunani kuno, cerita sampar abad pertengahan, sampai laporan-laporan terbaru pada saat itu.
Saat ini, La peste sudah diterjemahkan ke dalam 22 bahasa. Saya sempat mencari informasi di situs berbahasa Perancis, memang pada saat ini penjualan La peste — dalam pandemi Covid-19 — tiba-tiba naik. Dapat dimengerti, banyak orang membaca kembali sambil mencoba mencari paralel tentu saja. Tetapi karya fiksi ini membantu kita melihat berbagai macam cara untuk menyikapi absurditas, seperti saat ini dalam menghadapi wabah Covid-19.
Di tahun 1947, kepada siapa Camus menulis Roman ini?
Tentu kepada publik Perancis. Namun, sama seperti karya-karya sastra yang besar, meski ditulis untuk publik khusus gaungnya akan meluas kepada khalayak luas. Dengan demikan, meski konteksnya begitu dekat soal pendudukan Nazi di Prancis atau Eropa, namun metafora baksil pes itu lantas relevan bagi banyak orang untuk mengutarakan apa yang tidak dapat dijelaskan, yakni absurditas itu sendiri.
Ilustrasi Virus Coid-19
Apakah Camus, melalui La peste, dapat mewakili kondisi dunia saat ini ?
Bahwa di depan bencana seperti Covid-19 ini, kita lantas kebingungan bagaimana harus menyikapinya, manusia yang begitu percaya pada teknologi sekarang lumpuh. Vaksin tidak ada, sekalipun ditemukan, itu butuh waktu dua belas bulan. Kita yang begitu percaya dengan teknologi tiba-tiba sekarang berhadapan dengan lorong gelap tanpa ujung. Satu-satunya caranya adalah mengisolasi diri, berhadapan dengan kebhatilan yang tidak bisa dijelaskan, yang saya kira relevan.
Berhadapan dengan situasi itu, Camus sendiri, mengambil sikap sebagai seseorang yang tidak berusaha mencari penjelasan abstrak terhadap bencana yang khas dalam agama dan sains.
Camus mengamati apa yang terjadi, ia membantu korban yang jatuh tanpa banyak berteori, dan ia menjadi figur keterlibatan penuh dengan resiko untuk membantu korban. Di depan bencana yang dibutuhkan adalah keterlibatan di sisi korban tanpa ngajari dan tanpa memberi banyak abstraksi untuk menjelaskan itu semua.
Bisa diceritakan romo, La peste bercerita tentang apa?
Novel ini bercerita tentang sebuah kota yang bernama Oran di bagian Barat Aljazair. Pada suatu hari, Penduduk Oran menemukan ribuan tikus mati, lalu kemudian sejumlah orang sakit disebabkan oleh baksil atau bakteri dari bangai tikus itu. Seketika muncul wabah pes di tengah kota Oran.
Sementara penduduk kebanyakan tetap berjalan seperti biasa. Sibuk, fokus pada pasar, mencari kehidupan, perdangangan. Tiba-tiba, mereka harus berhadapan dengan wabah pes. Di sisi lain, Pemerintah Kota Oran berusaha menenangkan penduduk, sampai pada akhirnya Pemerintah Kota Oran mengisolasi wilayahnya.
Pada saat itulah muncul berbagai macam karakter dalam roman itu yang memperlihatkan berbagai sikap dalam berhadapan dengan wabah pes.
Melalui La Peste, Camus, menghadirkan sejumlah figur dengan karakteristik mereka masing-masing dalam menanggapi Wabah Pes yang menimpka kota Oran, refleksi apa yang ingin disampaikan, melalui tokoh-tokoh itu?
Ada orang yang dalam situasi wabah pes seperti Rambert, seseorang yang tidak mau berpikir aneh-aneh. Baginya, kebahagian itu sederhana yaitu kekasihnya. Menurut Rambert, memikirkan pernikahan besok itu lebih penting dari pada mengikuti perkembangan politik, sosial dan masyarakat pada umunya.
Tetapi karena TV, radio, medsos semua ngomong corona, kita itu seperti terjerat di dalamnya. Kita tidak mengharapkan situasi ini. Kadang-kadang ada godaan untuk melarikan diri dari kenyataan.
Rambert seorang wartawan, dia sudah tahu artinya perang. Dikisahkan ia pernah terlibat dalam perang saudara di Spanyol tahun 1930-an, jadi ia tahu apa namanya kemalangan, egoisme, kekonyolan, saling bunuh membunuh antar-umat manusia, maka dia juga orang yang skeptis.
Dengan demikian, orang yang terjebak itu jangan dikira tidak tahu apa-apa, mungkin ia juga orang yang punya banyak pengalaman. Bagi Rambert kemudian perjuangan hidup ini bukan untuk bangsa, negara atau patriotisme, hidup ini hanya soal memperjuangkan kebahagian personal.
Muncul juga reaksi dari agama, Romo Paneloux, seorang Yesuit, yang mengatakan sampar kutukan dari Tuhan. Dia lantas menganjurkan penduduk Oran untuk bertobat, memperbaiki diri, doa seminggu, fenomena ini juga banyak ditunjukkan beberapa orang.
Paneloux mengajak umatnya untuk sadar, merenung, dan bertobat dari kesalahan-kesalahan lampaunya. kelembutan dan cinta tuhan bisa tampak dalam peristiwa sejahanam sampar. Dengan khotbah seperti itu, bukan maksud Paneloux untuk membenci manusia atau untuk mengabarkan Tuhan yang Maha benci. Sama sekali bukan.
Dia mencoba mendamaikan secara abstrak apa yang ia mengerti mengenai sampar yang menimpa kota Oran. Paneloux yakin bahwa kebaikan Tuhan tak terbatas, sedemikian tak terbatas sehingga Tuhan bisa memberikan kebaikannya lewat penderitaan, jerit kemalangan, dan kematian.
Tarrou, anak seorang jaksa dan “atas nama masyarakat”, ayahnya kadang menghukum mati beberapa kasus orang yang ditanganinya. Tarrou merasa sangat malu dengan profesi ayahnya itu. Sebagai anak, ia merasa terlibat dalam tindakan jahat yang dilakukan ayahnya. Sejak menyadari hal itu, ia lalu ingin membela kehidupan, ada semacam ideologi untuk membela kehidupan, ketika wabah pes terjadi, baginya, ini kesempatan untuk menjalankan keyakinannya, lalu dia begabung ke dalam kelompok relawan untuk membantu korban.
Lalu figur lain seperti Cottard, Garcia, dan Gonzalès, para penyelundup yang justru merasa suka cita dengan penutupan kota Oran karena itu berarti berjalannya pasar gelap. Ada yang senang juga dengan keberadaan wabah karena dengan wabah itu mereka akhirnya mendapat banyak keutungan.
Dan tentu ada dr. Rieux, narator novel La peste, sekaligus figur bagi sikap Albert Camus sendiri. Sebagai dokter, ia melihat, teman-temannya berjuang sembari gugur dalam merawat pasien. Mereka ini adalah orang-orang biasa tetapi tiba-tiba karena profesinya berhadapan dengan bahaya.
Dokter Rieux mencatat dan menghitung, semacam menjadi saksi dari peristiwa bencana itu. Ia akan terus mencatat sampai pada akhirnya wabah ini reda sendiri — sama seperti ketika wabah ini datang tidak ada yang tahu — lalu Oran akan menemukan gaungnya seperti biasa, dan ia mengingatkan penduduk Oran — di akhir buku La Peste itu — bahwa sebetulnya wabah pes itu tidak benar-benar pergi karena baksil masih ada di baju-baju, keset, hanya menunggu kapan baksil itu aktif lagi.
Apa bisa saya katakan kisah di dalam La peste digerakkan oleh ide tentang Absurditas? Begitu pula dengan wabah Covid-19 saat ini?
Camus, melalui figur dr. Riuex, hanya mengatakan wabah pes itu berasal dari baksil-baksil, baksil muncul dari mana? Kenapa ada baksil? Itu kemudian orang seperti Romo Panelaux mencoba utuk menjelaskannya yakni melalui dalil teologis berupa hukuman Tuhan.
Kendati demikian, Camus, melalui figur dr. Rieux, justru mempertanyakan dalil tersebut, jika baksil itu adalah hukuman Tuhan, lantas kenapa wabah pes ini juga membunuh anak kecil yang belum bersalah apa-apa. Diceritakan, anak dari hakim Othon, meninggal dimakan secara bengis oleh baksil sampar.
Jadi sama seperti kita berhadapan dengan virus corona ini, bermacam teori muncul, ada yang bilang dari kelelawar, trengiling, mutasi dari virus corona sebelumnya MERS, SARS, lalu kenapa virus corona bermutasi? Jawaban ilmu hanya evousi, tetapi kenapa ada evolusi? Itulah dunia yang kita miliki, untuk apa? Enggak tahu.
Dr. Rieux mencukupkan diri untuk menolong korban, dia tidak berusaha menjelaskan wabah pes yang tengah melanda penduduk kota Oran. Baksil itu datang lalu reda sendiri, tetapi bukan berarti hilang, baksil hanya menunggu waktu untuk keluar lagi. Itulah menariknya La peste, karena kita ini sangat yakin dengan kedokteran, segala teknologi kesehatan, baru kemudian sadar bahwa ini belum ada obatnya. Dan baksil itu hanya menungggu waktu saja untuk aktif kembali. Kenapa? tidak tahu. Itu yang disebut absurd, enggak ada penjelasan, penjelasan apa pun rasanya tidak tepat.
Bagaimana lantas Camus merespon Absurditas itu, Romo?
Camus membaca dengan baik Nietzsche, jangan menjadi unta dengan mengiyakan semuanya begitu saja, jangan pula menjadi singa yang memberontak, melawan, heroik. Tetapi jadilah bayi, terima segala yang terjadi, cintai apa yang terjadi. Pada Camus lalu menjadi lebih konkret lagi yakni, bertindak membela yang dikenai kemalangan.
Di Nietzsche masih bersifat abstrak, semacam sikap personal sebagai bayi yang iya dan tidak sekaligus, yang mencintai nasib tetapi konkretnya bagaimana kita tidak tahu.
Di roman ini, Camus menempatkan diri sebagai dr. Rieux, orang yang memilih untuk bersimpati secara konkret bersama dokter-dokter lain, memberontak melawan absurditas tanpa banyak berharap.
Sebetulnya dalam situasi wabah saat ini, ketika masyarakat melakukan isolasi diri, kantor-kantor tutup, semua aktivitas dikorbankan, apa yang sebenarnya terjadi adalah kita takut pada kematian, sekarang kematian begitu nyata.
Di depan kematian itu lalu kita disadarkan bahwa kita mesti membatasi diri pada yang mendasar saja. Segala hal yang berlebihan yang membuat kita berpotensi terpapar pada resiko kematian sementara kita tanggalkan.
Apakah absurditas itu bisa diterima?
Kadang orang terlibat untuk membantu korban itu bukan karena alasan-alasan ideologis, agama, tetapi hanya kebetulan saja. Seperti kebetulan seseorang adalah dokter, perawat dan sekarang terjadai wabah — tidak ada yang minta — maka profesi itu mau tidak mau berhadapan dengan korban. Seperti dr. Rieux, ia tidak ada pilihan lain, ia terlibat di sisi korban tanpa alasan yang logis.
Atau Rambert, ia punya sejumlah pilihan tetapi tidak bisa kemana-mana juga, karena sudah terjebak di dalam kota. Pada akhirnya, seseorang yang terlibat di sisi korban jika dirunut alasannya terdengar tidak logis.
Kita selalu bisa berandai-andai suatu porsi yang lain, tetapi kan pada akhirnya kenapa kita tetap di sini, dengan pilihan ini. Itu yang menjadi penilaian akhirnya. Situasi itu, bagi Camus, adalah nasib manusia yang absurd.
Manusia kadang terlalu percaya diri dengan teknologi kesehatan, siapa yang menyangka Covid-19 bakal muncul dan sekarang ribuan orang telah mati di Italia. Di sana, rumah sakit tidak lagi bisa menangani, sekarang dokter bertugas untuk memilah mana yang dibiarkan hidup dan yang mati. Kita bisa melihat di medsos sekarang penguburan dilakukan militer.
Tidak ada lagi upacara keagamaan, tidak ada kumpul-kumpul untuk belangsungkawa, itu semua menjadi kemewahan. Camus menggambarkan sebuah bencana yang tidak ada penjelasannya, mirip dengan situasi Covid-19 hari ini.