Bisnis.com, JAKARTA - Wabah virus corona yang menyebar luas memberikan dampak yang tidak hanya terbatas pada kesehatan masyarakat dan ekonomi.
Pola bepergian manusia turut terpengaruh, di mana industri penerbangan global bahkan tidak seterpuruk ini pasca serangan teroris 9/11.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) memperkirakan industri penerbangan global berpotensi kehilangan seperempat triliun dolar dalam pendapatan tahun ini akibat pembatasan perjalanan yang berlaku di beberapa negara untuk menekan penyebaran virus corona.
Pusat Penerbangan CAPA di Sydney pekan lalu juga menyampaikan bahwa sebagian besar maskapai akan bangkrut pada akhir Mei jika mereka tidak dapat menemukan dukungan dana.
"Dalam masa yang sangat sulit ini, kondisinya menjadi kompetisi siapa yang paling tangguh," ujar CEO Qatar Airways Akbar Al Baker, seperti dikutip melalui Bloomberg, Jumat (27/3).
Jika ditanya, maskapai mana saja yang paling berisiko, seperti virus corona, krisis ini tidak pandang bulu apakah maskapai itu bertarif rendah atau badan usaha milik negara.
Baca Juga
Maskapai dengan tingkat utang tinggi perlu menyusun strategi untuk mengamankan cadangan uang tunai atau mencari sumber dana segar dengan penerbitan obligasi maupun pembiayaan.
Menggunakan metode Z-score yang dikembangkan oleh Edward Altman untuk memprediksi potensi kebangkrutan, Bloomberg menemukan beberapa maskapai yang cukup rentan posisinya selama dua tahun ke depan.
Di antaranya adalah Pakistan International Airlines, AirAsia Indonesia, Nok Air, PNG Air, Kenya Airways dan Spice Jet.
Meskipun daftar ini terkonsentrasi di Asia, sebagian besar karena tingkat utang yang tinggi, operator Eropa tidak kebal dari risiko serupa apalagi setelah kolapsnya maskapai penerbangan regional Inggris Flybe Group Plc.
Pemerintah di seluruh dunia sedang dalam pembicaraan dengan maskapai penerbangan tentang dukungan keuangan. Mereka yang memiliki dukungan loyal seperti Delta Air Lines Inc. dengan investor miliarder Warren Buffett, akan memiliki akses ke jalan lain untuk mendapatkan uang tunai.
Pabrikan pesawat terbang dan pemasoknya juga berada di bawah tekanan besar, dengan Boeing Co. yang sedang mengajukan dukungan negara miliaran dolar dan Airbus SE yang memperluas kredit dan membatalkan pembagian dividennya.