Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha membidik pelaku usaha retail terkait perkara kemitraan.
Komisioner sekaligus Juru Bicara KPPU Guntur Saragih mengatakan KPPU tengah melakukan penelitian dalam rangka penegakan hukum terhadap para pelaku usaha retail.
"Semua ini bermula ketika kami berjumpa dengan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki," ujarnya saat mengunjungi Redaksi Bisnis Indonesia, Kamis (5/3/2020).
Menurutnya untuk memperoleh izin dari Pemerintah, pelaku usaha retail mesti menunjukkan rencana kemitraan. Setelah memperoleh izin, lanjutnya, rencana itu mesti diimplementasikan oleh pelaku usaha tersebut.
Akan tetapi, lanjut Guntur, KPPU menemukan indikasi pelaku usaha yang tidak menjalankan rencana kemitraan dengan pelaku usaha kecil dan menengah.
"Sedang dalam tahap penelitian," ujar Guntur.
Baca Juga
Jika terjadi pelanggaran terkait kemitraan, UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM memberikan amanah kepada Negara untuk menunjukkan keberpihakan terhadap pelaku UMKM dengan menugaskan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
KPPU bertindak sebagai pengawas kemitraan dan turun tangan menjewer pelaku usaha besar yang kedapatan melakukan pelanggaran terhadap kemitraan.
Komisi ini pun mulai memberlakukan peraturan terbaru tentang pengawasan dan penanganan perkara kemitraan. Pemberlakuan aturan ini terkonfirmasi melalui laman KPPU.
Dengan terbitnya peraturan ini, pelaku usaha kemitraan, khususnya sektor usaha kecil dan menengah diharapkan bisa memahami prosedur yang bisa dilalui jika terjadi pelanggaran kemitraan yang dilakukan oleh mitra usaha dari sektor usaha yang lebih besar.
Ketentuan-ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengawasan dan Penanganan Perkara Kemitraan. Pemberlakuan tata cara tersebut terhitung sejak 17 Oktober 2019, yakni ketika peraturan tersebut diundangkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Berita Negara Nomor 1212 Tahun 2019.
Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan PP 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM.
Pada pasal-pasal awal, peraturan komisi ini memuat beberapa hal mulai dari objek pengawasan di mana KPPU memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan kemitraan antara pelaku usaha besar dan UMKM serta antara pelaku usaha menengah dengan usaha mikro dan kecil. Setidaknya terdapat sembilan pola kemitraan yang diawasi oleh komisi yakni inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan (join venture), penyumberluaran (outsourcing), dan bentuk kemitraan lainnya.
Dalam pelaksanaan berbagai pola-pola tersebut, usaha besar dilarang memiliki dan/atau menguasai usaha mikro, usaha kecil, dan/atau usaha menengah mitra usahanya; dan usaha menengah dilarang memiliki dan/atau menguasai usaha mikro dan/atau usaha kecil mitra usahanya. Kedua bentuk larangan inilah yang menjadi objek pengawasan KPPU.
Sementara itu, terkait proses penegakan hukum atas Kemitraan dapat dilakukan KPPU melalui dua pendekatan, yakni melalui laporan dari masyarakat dan inisiatif dari KPPU. Adapun laporan yang diterima dari masyarakat, KPPU akan melaksanakan proses klarifikasi selama maksimal 14 hari kerja untuk melengkapi laporan dan uji kelengkapan atas laporan.
Hasil klarifikasi dapat dilanjutkan pada proses Pemeriksaan Pendahuluan Kemitraan (PPK). Sementara untuk inisiatif KPPU, kasus dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk hasil pengawasan, kajian, temuan pemeriksaan, hasil koordinasi dengan lembaga, media, dan sebagainya.
Proses PPK dilakukan KPPU melalui dua tahap, yakni tahap petama dilakukan untuk memperoleh bukti yang cukup, kejelasan, dan kelengkapan dugaan pelanggaran pelaksanaan kemitraan tersebut. Tahapan ini dilaksanakan dalam jangka waktu maksimal 60 hari dan dapat diperpajang.
Dalam tahap ini, KPPU dapat memanggil berbagai pihak seperti terlapor, saksi, dan ahli. Hasil tahap pertama ini nantinya akan memuat dua hal, yakni analisis pembuktian unsur pelanggaran pelaksanaan kemitraan, dan usulan perbaikan kepada terlapor dalam pelaksanaan kemitraan.
Direktur Kemitraan KPPU, Lukman Sungkar mengatakan bahwa jika KPPU menilai terdapat dugaan pelanggaran, proses akan dilanjutkan pada PPK tahap kedua yakni komisi akan menyampaikan laporan dugaan pelanggaran kepada pihak terlapor dalam perkara tersebut.
Pihak terlapor, lanjutnya, diberikan waktu maksimal 14 hari untuk menanggapi laporan dugaan tersebut secara tertulis dan tanggapan ini akan dibahas dan disimpulkan oleh rapat Komisioner KPPU untuk memutuskan tidak ada dugaan pelanggaran pelaksanaan kemitraan.
“Dalam hal KPPU menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran, maka KPPU akan menyampaikan peringatan tertulis kepada terlapor. Untuk itu, terlapor wajib melakukan seluruh perbaikan atas dugaan pelanggaran pelaksanaan Kemitraan yang dilakukan, paling lambat 14 hari setelah diterimanya peringatan tertulis pertama,” jelasnya, belum lama ini.
Jika pihak terlapor tidak mengindahkan peringatan tertulis pertama, KPPU akan menyampaikan peringatan tertulis kedua dan terlapor kembali diberikan waktu paling lama 14 hari. Apabila tidak pula mengindahkan peringatan kedua, KPPU kembali akan menyampaikan peringatan tertulis ketiga yang jika kembali tidak diindahkan, kasus akan dilanjutkan pada proses Pemeriksaan Lanjutan Kemitraan (PLK).
Proses PLK ini dilaksanakan melalui persidangan oleh Majelis Komisi dengan melakukan pemeriksaan saksi dan ahli, pemeriksaan surat maupun dokumen, pemeriksaan terlapor, dan sebagainya. Sidang dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari.
Selanjutnya, Majelis Komisi akan melakukan musyawarah secara tertutup untuk menilai, menganalisis, menyimpulkan, dan memutuskan perkara berdasarkan alat bukti yang cukup tentang telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran pelaksanaan kemitraan, dan mengumumkannya dalam suatu Putusan Komisi yang dibacakan paling lambat 30 hari setelah berakhirnya proses PLK.
Putusan
Dalam memutus suatu perkara kemitraan, KPPU akan menyatakan kesimpulan atas telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran pelaksanaan kemitraan, dan disertai dengan perintah pembayaran denda maksimal sebesar Rp10 miliar untuk pelaku usaha besar dan maksimal Rp5 miliar untuk pelaku usaha menengah.
Bentuk sanksi juga bisa berupa perintah pencabutan izin usaha terlapor pada pejabat pemberi izin. Putusan KPPU tersebut bersifat final dan pihak terlapor wajib melaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 hari setelah menerima petikan dan salinan putusan KPPU atau setelah diumumkan kepada publik melalui laman komisi.
Jika terlapor tidak melaksanakan putusan, KPPU akan menyerahkan putusan tersebut kepada pengadilan negeri untuk dimintakan penetapan eksekusi. Dalam kondisi putusan memerintahkan pencabutan izin usaha, lebih lanjut PP 17/2013 mengatur bahwa pejabat pemberi izin wajib mencabut izin usaha pelaku usaha yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 30 hari kerja setelah Putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
“Penegakan hukum oleh KPPU atas pelaksanaan Kemitraan tersebut ditujukan sejalan dengan amanat undang-undang yang menggarisbawahi bahwa kemitraan usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah dengan usaha besar dilaksanakan dengan memperhatikan berbagai prinsip kemitraan dan menjunjung etika bisnis yang sehat,” pungkasnya.