Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Global Adu Kuat Lawan Virus Corona, Pilih Senjata Moneter atau Fiskal?

Pemerintah di seluruh dunia menghadapi tuntutan untuk meningkatkan stimulus fiskal dalam upaya membendung dampak ekonomi wabah coronavirus, setelah sebelumnya sejumlah bank sentral telah mengendurkan kebijakan moneternya.
Para gubernur bank sentral negara G7/ Bloomberg
Para gubernur bank sentral negara G7/ Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah di seluruh dunia menghadapi tuntutan untuk meningkatkan stimulus fiskal dalam upaya membendung dampak ekonomi dari wabah virus corona, setelah sebelumnya sejumlah bank sentral telah mengendurkan kebijakan moneternya.

Sejumlah investor telah memprediksi wabah akan memicu pelonggaran moneter secara serempak, seperti yang terjadi saat krisis keuangan global pada 2008. Peluang ramai-ramai mengeluarkan stimulus fiskal itu, mengingatkan kembali pada upaya pemerintahan group of 20 (G20) pada 2009, yang secara total menyuntikkan dana sebesar US$5 triliun pada ekonomi yang tengah berjuang melewati krisis.

Jim McCormick, Kepala Strategi Desk Global di NatWest Markets, mengatakan pemotongan dan penurunan suku bunga yang signifikan belum tentu merupakan respons kebijakan yang tepat terhadap apa yang terjadi belakangan ini.

"Apa yang sebenarnya dibutuhkan adalah respons fiskal, dan kabar baiknya adalah kita melihat beberapa peluang di Asia dan Eropa, tetapi sejauh ini tidak begitu banyak di AS," katanya dilansir Bloomberg, Selasa (3/3/2020).

Sementara itu, Menteri Keuangan group of 7 (G7) akan membahas situasi melalui teleconference hari ini. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang berbasis di Paris memperingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia berpeluang melambat pada kemungkinan yang lebih rendah dibandingkan dengan 2009.

"Pemerintah perlu bertindak segera untuk mengatasi epidemi, mendukung sistem perawatan kesehatan, melindungi warga, menopang permintaan dan menyediakan jalur finansial bagi rumah tangga dan bisnis yang paling terpengaruh," kata Kepala Ekonom OECD Laurence Boone.

Chetan Ahya, Kepala Ekonom di Morgan Stanley mengatakan seberapa agresif uapaya pemerintah akan tergantung pada dampak utama dari virus. Namun terlepas dari besar dampaknya, dia memperkirakan defisit fiskal empat negara maju utama ditambah China akan naik setidaknya 4,7 persen dari produk domestik bruto tahun ini. Penurunan itu merupakan yang terbesar sejak 2011 dan naik dari 4,1 persen pada tahun lalu.

Di antara argumen yang mendukung tindakan fiskal, salah satunya menyoal kemampuan untuk menopang permintaan yang tidak diwadahi oleh pelonggaran moneter. Salah satu contohnya adalah Italia, negara Eropa yang paling parah terkena dampaknya.

Pemerintah mengerahkan kredit pajak, dukungan bagi eksportir dan peningkatan likuiditas untuk bisnis. Tindakan itu merupakan bagian dari stimulus yang mungkin menelan biaya setidaknya 3,6 miliar euro (US$4 miliar), menambah utang yang sudah sangat menumpuk.

"Ada instrumen yang tersedia, instrumen kebijakan fiskal atau instrumen kebijakan sosial untuk kasus-kasus seperti itu, seperti tunjangan jangka pendek, yang telah kita gunakan di masa lalu dan yang terbukti cukup efektif. Ini harus menjadi debat yang ditujukan kepada para pembuat kebijakan fiskal," kata Presiden Bundesbank Jens Weidmann.

Argumen lain untuk stimulus anggaran adalah terkurasnya amunisi otoritas moneter, terutama Bank Jepang dan Bank Sentral Eropa, yang tingkat bunganya di bawah nol.

Di Asia, sejumlah negara juga mengeluarkan kebijakan fiskal tambahan. Misalnya saja, China, titik mula dari wabah, para pejabat berjanji akan memotong pajak untuk membantu perusahaan. Kebijakan itu termasuk mengurangi atau membebaskan pungutan nilai tambah untuk perusahaan yang menyediakan barang-barang penting atau logistik. Pemerintah Provinsi juga disuntik dengan banyak dana.

"Mungkin elemen yang paling penting untuk pasar yang akan datang adalah komponen fiskal dari apa yang akan terjadi berikutnya, dan khususnya saya pikir apa yang datang selanjutnya dari China," Yianos Kontopoulos, kepala strategi makro CQS.

Ekonom JPMorgan memperkirakan peningkatan fiskal senilai 1 persen dari produk domestik bruto di China, dengan pelonggaran serupa juga akan terjadi di Korea Selatan, Singapura dan India.

Sementara itu di Eropa, juga terjadi tekanan serupa pada instrumen fiskalnya. Wakil Presiden European Central Banl (ECB) Luis de Guindos menegaskan bahwa upaya mendahulukan kebijakan fiskal dibadingkan dengan moneter, harus menjadi pilihan utama. Para menteri keuangan Eropa akan mengadakan pertemuan, Rabu 4 Februari 2020 untuk membahas hal ini.

"Respons fiskal yang terkoordinasi harus tepat waktu. Tidak bisa diambil terlalu awal atau terlambat," kata kepala ekonomi Uni Eropa Paolo Gentiloni kepada wartawan di Brussels.

Di Jerman, tekanan virus memaksa pemerintah menggunakan kekuatan fiskal yang dibangun dari surplus anggaran bertahun-tahun. Kementerian Keuangan Jerman menegaskan pemerintah memiliki fleksibilitas pengeluaran yang cukup untuk bereaksi terhadap krisis ekonomi tanpa mengubah batas defisit konstitusional.

Di AS, pilihan kebijakan jatuh pada kebijakan moneter daripada fiskal. Presiden Donald Trump memperbaharui seruannya bagi Federal Reserve untuk menurunkan suku bunga dalam beberapa hari terakhir. Gubernur Fed Jerome Powell membuka membuka peluang pemangkasan suku bung acuan untuk mendukung perekonomian. Stimulus juga akan segera terjadi di Inggris, yang akan merilis anggarannya pada 11 Maret.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Reni Lestari
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper