Bisnis.com, JAKARTA - Anggota DPR RI Fraksi PKS Rafli meminta maaf atas usulannya terkait legalisasi ganja dan memanfaatkannya sebagai komoditas ekspor.
Permohonan maaf tersebut disampaikan Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini melalui keterangan resminya, Jumat (31/1/2020). Selain itu, dia menyebut pernyataan Rafli hanya berupa usulan pribadi.
“Atas dasar itulah Fraksi PKS menegur keras Pak Rafly. Dan yang bersangkutan meminta maaf atas kesilapan pikiran dan pernyataan pribadinya itu sehingga menimbulkan polemik serta membuat salah paham di kalangan masyarakat. Dan beliau menarik usulan pribadinya tersebut,” kata Jazuli, Jumat (31/1/2020).
Fraksi PKS menegasnya bahwa tidak ada toleransi bagi peredaran dan penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan komitmen Fraksi PKS sebagai satu-satunya Fraksi di DPR yang mengadakan tes urine untuk anggota dan stafnya dua kali setahun.
“BNN pun menyambut sangat positif sikap FPKS tersebut. Sama dengan Fraksi PKS,” ujarnya.
Rafli, kata Jazuli bahkan mengusulkan hukuman mati bagi bandar dan pengedar narkoba. Hal itu dia suarakan sejak masih menjadi Anggota DPD RI 2014-2019 yang kini bergabung ke PKS.
Baca Juga
Jazuli menyebut dengan teguran keras Fraksi PKS dan permintaan maaf Rafli, serta penarikan usulan pribadinya itu, diharapkan kesalahpahaman dan polemik yang berkembang di masyarakat bisa diluruskan dan tidak dilanjutkan.
“Mari bersama PKS dan BNN kuatkan tekad dan kebersamaan melawan narkoba dlm segala bentuknya, termasuk ganja, yg telah jadikan Indonesia sbg darurat narkoba,” terangnya.
Anggota Komisi VI DPR RI Rafli mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan legalisasi ganja di Aceh. Dia mengusulkan ganja menjadi salah satu komoditas yang bisa dieskpor.
Usulan legalisasi ganja Aceh sebagai komoditas ekspor dimaksudkan untuk kebutuhan medis dan turunannya, bukan untuk disalahgunakan dan bebas dipergunakan.
“Pemanfaatan ganja dari sisi medis yang sudah diakui dan digunakan sejumlah negara lebih maju,” kata Rafli melalui keterangan resmi, Jumat (31/1/2020).
Di Indonesia rencana itu bertentangan dengan pasal 8 ayat 1 UU Nomor 35/2009 Tentang Narkotika Golongan 1 yang tidak boleh digunakan untuk kebutuhan medis.
Menurut Rafli apabila pemerintah serius berencana mengelola komoditas tersebut, DPR dan seluruh instansi bisa saja merevisi regulasi yang ada. Namun dengan catatan dapat menutup celah penyalahgunaan.