Bisnis.com, JAKARTA – Mengapa penularan virus corona lebih masif?
Pertanyaan itu mengemuka di benak siapa pun saat wabah virus corona (coronavirus) yang berepisentrum di Kota Wuhan, Republik Rakyat China (RRC), itu penularannya sangat luar biasa cepat dan massal.
Faktor yang turut berkontribusi meluasnya wabah ini adalah soal waktu.
Wabah ini, kata Deputi Direktur Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular China (CCDCP) Feng Zijian dalam salah satu wawancara khusus yang disiarkan CCTV, Senin (27/1/2020), malam, bermula pada awal Desember 2019 atau sebulan sebelum kepadatan arus mudik liburan Imlek, saat orang-orang di satu wilayah yang terinfeksi melakukan perjalanan ke berbagai penjuru sehingga mempercepat penyebaran penyakit itu.
Oleh sebab itu, lanjut dia, salah satu strategi untuk memudahkan pengendalian wabah tersebut adalah dengan memperpanjang masa libur Imlek.
Sebelumnya, pemerintah RRC menetapkan masa libur kerja Imlek pada tanggal 24—30 Januari 2020, kemudian dengan banyaknya korban yang terinfeksi virus 2019-nCoV itu, liburan kerja diperpanjang hingga 2 Februari 2020.
Baca Juga
Sementara itu, liburan sekolah yang bertepatan dengan libur semester akhir yang seharusnya berakhir pada pertengahan Februari 2020, kemudian diperpanjang hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Lebih lanjut Feng mengatakan bahwa penularan antarmanusia lebih kuat, sehingga jumlah kasus meningkat drastis, khususnya di Wuhan, Provinsi Hubei di wilayah tengah RRC.
Pola Penularan
Menurut Feng pola penularan antarmanusia nyaris sama dengan SARS yang mulai mewabah di RRC pada tahun 2002, yang berarti satu pasien rata-rata bisa menulari dua sampai tiga orang.
Akan tetapi, tingkat kelipatan virus corona lebih pendek daripada SARS. Bandingkan, dalam sembilan hari kasus infeksi SARS bisa mencapai dua kali lipat, sedangkan virus corona hanya butuh enam sampai tujuh hari saja, kata Feng dalam siaran televisi nasional RRT yang dipantau ANTARA dari Beijing itu.
Ia menegaskan bahwa semua orang dari segala usia sangat rentan terkena gejala wabah yang disebabkan oleh virus yang oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) disebut dengan 2019-nCoV itu.
Bahkan, dalam penelitian menunjukkan bahwa gejala wabah tersebut lebih kecil menimpa anak-anak ketimbang orang usia dewasa.
"Selama ini belum ada kasus kondisi kritis pada anak-anak," kata Feng menambahkan.
Lalu dia mengemukakan waktu ideal bagi orang yang baru pulang dari Provinsi Hubei adalah selama 14 hari untuk menjalani karantina.
Karantina 14 Hari
Waktu 14 hari adalah masa karantina yang dibutuhkan bagi orang yang baru bepergian dari Provinsi Hubei sebelum melakukan aktivitas sehari-hari di tempat umum.
Bagi mereka yang berasal dari daerah lain, kata Feng, cukuplah hanya mengenakan masker di tempat kerja, rutin mengukur suhu tubuh dengan termometer, dan memeriksakan diri pada saat-saat yang tepat.
Ia juga menyinggung banyaknya perawat, khususnya yang bekerja di Poliklinik Pneumologi di rumah sakit di Wuhan seperti viral di sejumlah media.
Menurut dia, pada saat wabah itu merebak pada tingkatan yang sangat luar biasa masif ditambah dengan meningkatnya penderitaan pasien. Maka, beban kerja dan psikologis para perawat dan petugas kesehatan lainnya pun bertambah berat.
Di situlah dibutuhkan bala bantuan tim kesehatan dari berbagai daerah lain di daratan China yang bukan endemik 2019-nCov.
Sejak Minggu (26/1/2020) sore, lebih dari 1.000 petugas medis dari berbagai daerah di RRC dikerahkan ke Wuhan. Esok harinya, Perdana Menteri Li Keqiang datang langsung ke Wuhan untuk menyemangati para petugas medis yang tersebar di berbagai tempat.
Peta Sebaran
Sementara itu, berdasarkan data pemerintah RRC per 28 Agustus 2020 pukul 21.00 waktu setempat (20.00 WIB), tercatat 4.630 kasus di seluruh negara itu didiagnosis positif 2019-nCoV, 6.973 kasus terduga, 106 orang meninggal dunia, dan 73 orang telah dinyatakan sembuh sehingga diizinkan meninggalkan rumah sakit.
Dari jumlah itu terbanyak di Provinsi Hubei dengan 2.714 kasus, 100 orang meninggal dunia, dan 52 lainnya dipulangkan dari rumah sakit.
Kota Wuhan sebagai Ibu Kota Provinsi Hubei sekaligus daerah episentrum wabah yang ditularkan oleh ular dan kelelawar di Pasar Huanan memberikan sumbangan terbesar dengan 1.590 kasus, 85 tewas, dan 47 meninggalkan rumah sakit.
Enam pengidap 2019-nCoV lainnya yang meninggal dunia berasal dari Provinsi Hunan, Provinsi Hebei, Provinsi Heilongjiang, Beijing, Shanghai, dan Provinsi Hainan, masing-masing satu orang.
Berdasarkan data Kedutaan Besar RI di Beijing hingga 28 Januari 2020 jumlah warga negara Indonesia, baik pelajar, pekerja profesional, maupun ibu rumah tangga, di Provinsi Hubei sebanyak 244 orang.
Dari jumlah itu, sebanyak 102 WNI di antaranya berada di Wuhan sejak masa penutupan kota itu pada tanggal 23 Januari 2020 pukul 10.00 waktu setempat.
WNI lainnya tersebar di kota-kota lain di Hubei, yakni Xianning sebanyak 55 orang, Huangshi (52), Jingzhou (20), Xiangyang (3), Enshi (10), dan Yichang (2)
Virus tersebut juga mewabah ke Thailand dengan 14 kasus, Jepang (7), Singapura (5), Amerika Serikat (5), Australia (5), Korea Selatan (4), Malaysia (3), Prancis (3), Vietnam (2), Nepal (1), Kanada (1), Kamboja (1), Jerman (1), dan Srilanka (1).
Sebagai catatan perbandingan, wabah Sindrom Pernapasan Akut Berat (SARS) yang pertama kali merebak di Provinsi Guangdong di wilayah selatan RRC pada bulan November 2002 telah mengakibatkan 5.327 warga RRC dinyatakan positif dengan jumlah meninggal dunia sebanyak 348 orang hingga Juli 2003.
Penyebarannya pun sangat cepat melalui Hong Kong yang memang bertetangga dengan Provinsi Guangdong. Hong Kong memberikan andil yang cukup besar, yakni 1.755 kasus dengan 299 orang tewas.
Secara global, WHO mencatat 8.069 kasus SARS dengan jumlah pasien meninggal dunia sebanyak 775 orang.
Pada saat itu, Indonesia menyumbangkan dua kasus dan keduanya juga pada akhirnya dinyatakan sembuh total.