Bisnis.com, JAKARTA - Berbagai situasi pascateror memerlukan penanganan yang tepat dan memadai. Sejumlah aksi terorisme dan penanganan setelah aksi berlangsung menjadi referensi penting bagi dunia internasional.
Kepada khalayak internasional, Kapolda Bali Irjen Pol Petrus Reinhard Golose menjelaskan tentang upaya Indonesia mengelola krisis seusai serangan teroris seperti pada tragedi Bom Bali I dan II, Bom Thamrin 2016, Bom Surabaya 2018 dan Medan 2019.
Hal itu disampaikan Petrus saat diundang Prof. Robert Pape, Director of University of Chicago Project on Security & Threats. Petrus menjadi pembicara dalam diskusi tentang pertukaran pengalaman dan wawasan tentang strategi kota-kota di dunia menghadapi situasi pascaserangan teror.
Diskusi berlangsung dalam acara Kolokium Dunia dan Pelatihan Nasional dengan tema "Bersatu Melawan Serangan Berikutnya" pada 21-23 November 2019 di Chicago, Amerika Serikat, dikutip Antara dari Siaran Pers Polri, Sabtu (23/11/2019).
Petrus menjelaskan bahwa Polri telah melakukan kerja sama dengan berbagai pihak terkait untuk menangani situasi pascaserangan teroris dengan cepat dan terukur.
Pada kesempatan itu, Kapolda Bali tersebut memaparkan mengenai aturan yang terdapat dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 2018. Aturan tersebut terbukti efektif mencegah serangan terorisme hingga mengantisipasi penyebaran propaganda hoaks yang mengarah pada tindakan terorisme melalui media sosial.
Baca Juga
Sementara Michele Coninsx selaku Assistant Secretary-General & Executive Director dari Badan PBB CTED dalam pidato pembukaannya menyebutkan berbagai contoh kota-kota di dunia. Indonesia disebut Coninsx berhasil bangkit menghadapi teroris yang melakukan serangan terhadap sejumlah kota.
Coninsx berharap bahwa kota-kota lain dapat mempelajari cara untuk menilai tingkat risiko penanganan serangan teror dan cara untuk menurunkannya.
Acara yang diselenggarakan Direktorat Eksekutif Komite Anti Terorisme Dewan Keamanan PBB (UN-CTED) dan Proyek Universitas Chicago bidang Keamanan dan Ancaman (CPOST) ini dihadiri para pakar keamanan dan akademisi dunia antara lain dari PBB, Amerika Serikat, Inggris, Indonesia, Australia, Turki, Maroko, Prancis, Skotlandia, Israel.
Hadir pula para pelaku bisnis besar dunia seperti Motorola dan Amazon yang tertarik mempelajari perilaku teroris dunia dan tren penyebaran propaganda di media sosial.