Kabar24.com, JAKARTA — Seorang saudara yang tinggal di Kabupaten Garut, Jawa Barat, pernah bercerita bahwa jalanan di desanya yang 1,5 bulan baru selesai diperbaiki dan diaspal, tiba-tiba mengelupas begitu saja.
Padahal, katanya, lalu-lintas kendaraan di desanya hanya ramai dilewati sepeda motor. Minim kendaraan berat.
Kini, kondisi jalan yang perbaikannya menggunakan alokasi dana desa itu rapuh. Lubang sudah menganga di mana-mana.
Dia bercerita bahwa warga setempat menduga-duga jika bahan konstruksi jalanan untuk pengaspalan telah di korupsi. Volume aspal juga tidak sesuai atau bahkan diduga dikurangi. Namun, mereka enggan melaporkannya pada polisi.
Ada kisah pula yang ramai di media sosial, seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Tengah Susilawati tengah jongkok di pinggir jalan dan menggegam aspal jalan yang diduga lebih banyak berisi pasir. Padahal, pembangunan jalan itu menggunakan anggaran daerah.
Cerita itu bisa saja terjadi di desa lainnya yang mungkin dibumbui aroma korupsi. Dana desa, dengan kucuran yang besar setiap tahunnya, memang rawan dengan seseorang perilaku culas.
Catatan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, alokasi anggaran dana desa pada 2019 mencapai Rp70 triluun untuk 74.954 desa.
Belakangan polemik mengenai dana desa mencuat pascalaporan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di DPR terkait dengan adanya dugaan dana desa yang tidak tersalurkan secara tepat sasaran.
Bahkan, ada dana desa yang mengalir ke daerah yang tidak diketahui nama desa dan penduduknya atau desa fiktif.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Polda Sulawesi Tenggara bahkan tengah mengusut dugaan korupsi di sektor itu. KPK menyebut terdapat 34 desa bermasalah di Konawe dan tiga desa di antaranya terindikasi fiktif.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai polemik dana desa yang juga menimbulkan saling bantah dari kementerian dan lembaga.
Namun, ICW merujuk penemuan Ombudsman RI perwakilan Sumatra Utara,yang menemukan tiga desa yang diduga fiktif di Nias Barat. Selain di Konawe, Sulawesi Tenggara, ada pula di Kalimantan Selatan dan Pulau Kecil di Halmahera.
"Permasalahan desa fiktif juga perlu ditindaklanjuti mengingat korupsi di desa semakin marak," ujar peneliti ICW Egi Primayogha saat dihubungi, Minggu (19/11/2019).
ICW mencatat, sepanjang 2015–2018 terdapat 252 kasus korupsi anggaran desa yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada 2015 (22 kasus); 2016 (48 kasus); 2017 (98 kasus); dan 2018 (96 kasus).
Menurut Egi, modus-modus yang ditemukan di antaranya penyalahgunaan anggaran, laporan fiktif, penggelapan, penggelembungan anggaran, dan suap.
"Total pada tahun 2015–2018, negara merugi Rp107,7 miliar akibat korupsi anggaran desa," ujarnya.
Egi mengatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga turut menemukan masalah dalam penyaluran dana desa.
Melalui audit BPK yakni Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II tahun 2018 ditemukan bahwa penyaluran dana desa oleh pemerintah tidak berdasarkan data yang mutakhir.
Dalam hal pendataan ini, kata dia, tanggung jawab sepenuhnya berada di Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa PDTT.
Menurutnya, verifikasi perihal data desa penting untuk dilakukan agar dana desa yang tersalurkan tak salah sasaran atau disalahgunakan.
Peneliti ICW lainnya, Tama Langkun, mengatakan bahwa korupsi dana desa disebut sebagai petty corruption atau korupsi dalam skala yang kecil tetapi memiliki dampak yang cukup besar bagi tata kelola anggaran.
Menurutnya, pendekatan petty corruption berbeda dengan korupsi besar yang bisa langsung menyentuh ke permasalahan.
"Tapi, kalau petty corruption itu lebih ke sistem. Nah, kalau pendekatan sistem, berarti semuanya harus di cek mulai dari mekanisme regulasi," katanya pada Bisnis.
Tama mengatakan bahwa harus ada evaluasi menyeluruh dalam pelaksanaan dana desa termasuk perihal strategi nasional pencegahan korupsi apakah telah sampai ke pelosok pedesaan atau belum.
Dia mengakui bahwa pengusutan korupsi dana desa tak bisa melibatkan KPK lantaran terbentur undang-undang. Dalam UU, KPK hanya bisa menangani kasus yang kerugian negaranya mencapai Rp1 miliar.
"Apalagi, di UU yang baru ada satu varibel yang dihilangkan, apa itu? Kasus yang menyita perhatian publik. Kepala desa bukan eselon I, perkara kecil, tapi ini banyak dan dampaknya luas," tutur dia.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan pengelolaan dana desa perlu dibarengi dengan pendampingan sekaligus pembinaan agar lebih optimal.
Salah satu yang perlu dilakukan untuk mengawal optimalisasi dana desa yakni lewat peningkatan pengelolaan dana desa berbasis IT.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengaku bahwa lembaganya terlibat dalam pengawasan program dana desa untuk menekan potensi korupsi di sektor itu.
Menurut Pahala, pihaknya memfasilitasi atau selaku fasilitator lima intansi yaitu dengan Kemendes, Kemenkeu, Kemendagri, Pemkab dan BPKP.
Belum lagi, komisi antikorupsi berkoordinasi dengan Kepolisian dan Kejaksaan yang juga turut melakukan pengawasan.
"Jadi KPK fasilitator saja."
Evaluasi besar tentu harus dilakukan setiap instansi yang terlibat langsung dalam program ini. Tetapi, yang terpenting adalah fungsi pengawasan harus dioptimalkan lantaran aliran dana desa menyentuh hingga level bawah.