Bisnis.com, JAKARTA - Para pemohon pengujian UU KPK hasil revisi meminta Mahkamah Konstitusi (MK) tetap memeriksa perkara mereka kendati gagal menyerahkan objek gugatan sesuai tenggat waktu.
UU KPK hasil revisi telah diundangkan pada 17 Oktober dengan nomenklatur UU No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Padahal, para pemohon Perkara No. 57/PUU-XVII/2019 yang terdiri dari 190 orang diberi batas waktu memperbaiki permohonan sampai 14 Oktober. Dalam perbaikannya, pemohon mencantumkan objek gugatan adalah UU No. 16/2019 dari yang semestinya UU No. 19/2019.
“Saya berharap MK bisa memproses perkara ini demi menegakkan keadilan prosedural bagi pemohon,” kata Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, kuasa hukum pemohon, dalam sidang perbaikan permohonan di Jakarta, Senin (21/10/2019).
Permohonan tersebut awalnya diajukan oleh 18 orang yang mayoritas berstatus mahasiswa pada 18 September atau sehari setelah UU KPK hasil revisi disahkan DPR. Pada 30 September, MK menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan ketika beleid itu masih belum diundangkan.
MK memberikan batas waktu hingga 14 Oktober bagi para pemohon untuk memperbaiki permohonan. Dalam kurun waktu itu, para pemohon berharap dapat memasukkan UU KPK yang telah diundangkan sebagai objek gugatan sehingga memenuhi ketentuan hukum acara MK.
Sayangnya, Presiden Joko Widodo ternyata tidak meneken pengesahan UU KPK anyar hingga 30 hari setelah disetujui DPR. Beleid tersebut baru disahkan pada 17 Oktober sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945.
Dalam sidang, Zico telah berupaya meyakinkan MK agar diberi kesempatan merenvoi atau mengoreksi nomenklatur UU KPK hasil revisi. Namun, Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Anwar Usman menolak permintaan pemohon.
“Hasil sidang ini akan dilaporkan dalam rapat permusyawaratan hakim. Bagaimana kelanjutan perkara ini akan diberitahu melalui Kepaniteraan,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Dalam perbaikan, jumlah pemohon membengkak dari 18 orang menjadi 190 orang. Mayoritas pemohon merupakan mahasiswa, tetapi ada pula karyawan, guru, hingga calon pendeta.
Secara substansi, para pemohon menguji UU KPK hasil revisi secara formil maupun materiil. Untuk pengujian formil, mereka meminta agar UU KPK hasil revisi dibatalkan karena penyusunannya tidak sesuai dengan prosedur.
“Para pemohon mengalami kerugian konstitusional antargenerasi dan kerugian konstitusional kolektif,” kata Zico.
Hingga saat ini, tiga gugatan UU KPK hasil revisi telah diterima oleh MK. Dua permohonan lainnya adalah Perkara No. 59/PUU-XVII/2019 dan Perkara No. 62/PUU-XVII/2019.
Pemohon Perkara No. 59/PUU-XVII/2019 adalah 25 mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam As-Syafi'iyah. Gugatan itu diperiksa perdana pada 14 Oktober.
Sementara itu, Perkara No. 62/PUU-XVII/2019 diajukan oleh seorang advokat bernama Gregorius Yonathan Deowikaputra. Permohonan tersebut baru diperiksa perdana pada 30 Oktober.