Bisnis.com, JAKARTA – Kelompok hak asasi manusia (HAM) Amnesty International mendesak pemerintah Hong Kong untuk segera menyelidiki serangan berdarah terhadap pemimpin salah satu kelompok pro-demokrasi terbesar di kota yang dikuasai oleh China itu.
Jimmy Sham, kepala Front Hak Asasi Manusia Sipil, mengalami serangan kedua sejak protes di pusat keuangan Asia tersebut bereskalasi pada pertengahan Juni. Sejumlah foto yang bertebaran di media sosial memperlihatkannya terluka dalam genangan darah.
“Pihak otoritas harus segera melakukan penyelidikan atas serangan yang mengerikan ini serta mengirimkan pesan yang jelas bahwa menargetkan para aktivis akan memiliki konsekuensi,” ujar Joshua Rosenzweig, kepala kantor regional Asia Timur di Amnesty International.
"Kurangnya tindakan apapun akan memberi sinyal mengerikan bahwa serangan seperti itu ditoleransi oleh pihak otoritas,” tambahnya dalam sebuah pernyataan pada Rabu (16/10/2019), dikutip dari Reuters.
Sebanyak lima pria bertopeng mengenakan pakaian hitam dan diyakini bukan berasal dari China telah menyerang Sham dengan palu dan pisau selama lebih dari 10 detik di distrik Mong Kok di semenanjung Kowloon, menurut pihak kepolisian pada Rabu malam (16/10/2019).
Pihak kepolisian sangat mengutuk serangan yang dinilai terencana ini dan berjanji akan menyelidikinya. Sementara itu, juru bicara pemerintah Hong Kong menyatakan Sham dalam kondisi stabil saat ini.
Baca Juga
Kelompok pimpinan Sham, yang mengorganisir aksi unjuk rasa besar-besaran pada Juni, merencanakan aksi protes lanjutan pada Minggu di distrik Kowloon, tetapi pihak berwenang belum mengonfirmasikan perizinannya.
"Tidak sulit untuk menghubungkan kejadian ini dengan teror politik yang menyebar untuk mengancam dan menghambat pelaksanaan hak-hak alam dan hukum yang sah,” papar kelompok itu dalam sebuah pernyataan kepada Reuters.
Dalam lebih dari empat bulan terakhir, Hong Kong telah diguncang aksi protes anti-pemerintah yang terkadang diwarnai kekerasan.
Permasalahan ini menjadi krisis terburuk Hong Kong dalam beberapa dekade sekaligus menjadi tantangan terbesar bagi pemerintahan Presiden China Xi Jinping sejak ia berkuasa pada 2012.
Apa yang dimulai sebagai pertentangan terhadap rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi telah berevolusi menjadi gerakan pro-demokrasi yang disulut oleh kekhawatiran dominasi kontrol oleh pemerintah China.
China dikhawatirkan akan menghambat kebebasan dalam formula “satu negara, dua sistem” yang diterapkan ketika Inggris menyerahkan Hong Kong kepada China pada 1997.