Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perang Dagang, Magnet Investasi, dan Ketahanan Ekonomi

Perang Dagang membawa 'dimensi baru' karena dampak pertarungan antara AS dan China sudah mulai menyengat sampai jauh.
Presiden AS Donald Trump saat bertemu dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He di Ruang Oval Gedung Putih, Washington, AS, 4 April 2019./REUTERS-Jonathan Ernst
Presiden AS Donald Trump saat bertemu dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He di Ruang Oval Gedung Putih, Washington, AS, 4 April 2019./REUTERS-Jonathan Ernst

Bisnis.com, JAKARTA – Bangunan tertinggi di dunia kini terletak di Dubai. Perusahaan dagang terbesar di dunia bermarkas di China. Industri film terbesar, baik dari jumlah film dan tiket yerjual, adalah Bollywood. Pesawat terbesar di dunia dirakit di Rusia dan Ukraina. Penyulingan terbesar sedunia berada di India. Sedangkan pabrik-pabrik terbesar sejagat berdiri kokoh di China.

Dua puluh tahun lalu Amerika Serikat adalah pamuncak dalam banyak kategori. "Namun kini, globalisasi telah memukul balik. Rival-rival Amerika kian makmur dan negara ini kehilangan banyak industri kunci."

Untuk beberapa hal, saya sepakat dengan pendapat Fareed Zakaria di dua alinea pembuka tersebut. Pada intinya, analisis peraih gelar Bhushan Padma dari Pemerintah India itu adalah bahwa peran AS meredup, dan oleh karena itu masa depan global bisa dikatakan berada dalam apa yang disebut 'sebuah dunia pasca Amerika'.

Telaah pemikir yang menjadi salah seorang dari 100 Intelektual Publik Terkemuka di Dunia versi Foreign Policy and Prospect tersebut memang menjadi perbincangan hangat sebelum Donald Trump duduk sebagai orang nomor satu di Gedung Putih.

Dan begitu berkuasa, Trump seolah ingin menepis keraguan banyak orang, dan mungkin juga Fareed, bahwa Paman Sam sudah tinggal sejarah. Tinggal papan nama. Tinggal gertak sambal belaka.

Sebagai serangan balik, dia mengeluarkan manifestonya: Make America Great Again. Rajawali Amerika masih sanggup bangkit kembali dan melumpuhkan lawan-lawannya di angkasa.

Lawan yang paling nyata saat ini adalah China. Sejak tahun lalu hubungan dagang kedua negara tidak dapat berjalan di jalur yang normal. Kedua pihak saling mengenakan tarif impor yang mencekik terhadap komoditas ekspor strategis lawannya untuk melemahkan posisi pesaing.

Perang Dagang antar dua raksasa ekonomi dunia sedang berlangsung dengan sengitnya. Belum ada tanda-tanda peredaan ketegangan. Menjadi tanda tanya besar, apakah akhir perang tersebut bisa kita pandang sama dan serupa dengan ending Perang Dunia II atau Perang Dingin misalnya, dimana sang pemenang dan pecundang bisa dibedakan dengan jelas.

Berbeda dengan George W. Bush yang dengan arogan memilah dunia berdasarkan cara pandang Amerika semata saat menyulut perang semesta melawan terorisme global. Dalam kacamata Bush, hanya ada hitam atau putih: With Us or Against Us.

Bersama Amerika atau melawan Amerika! Guantanamo, Afganistan atau Abu Ghraib (Irak) menjadi saksi bagaimana perang melawan terorisme itu berlangsung dalam eskalasi yang belum terjadi sebelumnya.

Nah, apakah dalam Perang Dagang saat ini Washington dan Beijing mempunyai sekutu layaknya perang konvensional? Dalam hal ini Trump terlihat tidak seperti Bush yunior. Malah Presiden AS ini tampak sekali tak peduli dengan urusan pertemanan atau permusuhan. Alhasil, Amerika maju secara frontal dengan kekuatan penuh untuk merebut kembali supremasinya yang, bisa jadi menurut Trump, 'sudah tergadaikan'.

Perang Dunia II berlangsung sekitar tiga tahun. Perang Korea, Perang Vietnam, Perang Arab-Israel, dan krisis rudal Kuba menghiasi bingkai Perang Dingin selama hampir tiga dekade sebelum akhirnya 'terkubur' bersama reruntuhan Tembok Berlin.

Kini Perang Dagang membawa 'dimensi baru' karena dampak pertarungan kedua raksasa tersebut sudah mulai menyengat sampai jauh. Fenomena itu adalah berkah relokasi investasi dari China dan tentunya juga AS. Dalam hal ini, ibarat seorang pemuda yang sedang mencari jodoh. Gadis yang paling cantik dan memenuhi kriterianya yang akan dipilih sebagai pendamping.

Semua gadis (calon negara tujuan relokasi) menyebut dirinya paling menarik dan memenuhi syarat. Namun dalam setiap kontestasi selalu ada yang menang dan pihak yang kalah.

Siapa pemenang dalam menjaring relokasi investasi ini sudah kita ketahui bersama: Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Bahkan juga Meksiko dan Myanmar. Indonesia harus gigit jari. Sampai akhirnya Presiden Jokowi pun kecewa berat. Apa boleh buat, iklim investasi kita kalah seksi dibandingkan sejumlah negara tetangga.

Inilah tantangan nyata di pelupuk mata: Menjawab keraguan calon investor dengan kerja atau hasil nyata. Selain itu, siapkan daya tangkal dan pertahanan diri yang lebih baik agar siap menghadapi ketidakpastian yang memburuk di level perekonomian global sebagai konsekuensi berlanjutnya tensi perang dagang.

Dalam kondisi kesehatan yang tidak prima, virus gampang menyerang. Sama halnya yang dihadapi perekonomian sebuah negara dalam kondisi saat ini. Supaya tidak terjangkiti penyakit menular, langkah-langkah preventif harus dilakukan.

Seperti dikatakan John R. Talbott (2009), ekonom dan mantan bankir investasi, bahwa tidak ada masa depan (yang lebih cerah setelah dihantam epidemi mematikan) tanpa dibarengi dengan reformasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Inria Zulfikar
Editor : Inria Zulfikar
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper