Bisnis.com, JAKARTA— Seluruh eks bank sindikasi telah menyerahkan pengurusan penyelesaian utang debitur PT Geria Wijaya Prestige (GWP) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melalui Kesepakatan Bersama pada 8 November 2002.
Selain empat eks bank sindikasi, yaitu Bank Multicor, Bank Arta Niaga Kencana, Bank Finconesia, dan Bank Indovest, turut menandatangani Kesepakatan Bersama itu adalah BPPN yang bertindak untuk dan atas nama Bank PDFCI, Bank Dharmala, dan Bank Rama, serta Bank Danamon Indonesia, selaku pengambil alih Bank PDFCI yang bertindak selaku agen fasilitas dan jaminan.
Kuasa Hukum Fireworks Ventures Limited, Berman Sitompul menegaskan dalam Pasal 1 Kesepakatan Bersama tersebut, diatur secara tegas bahwa bank-bank memberi wewenang kepada BPPN untuk melakukan pengurusan penyelesaian utang debitur (PT GWP) yang timbul dari perjanjian kredit berdasarkan ketentuan yang diatur dalam PP No. 17 Tahun 1999 Tentang BPPN.
“Dan kewenangan yang diberikan Bank Multicor dan bank-bank lain kepada BPPN berdasarkan Kesepakatan Bersama 8 November 2000 itu tidak pernah ditarik atau dicabut,” tuturnya, Senin (7/10/2019).
Seperti diketahui dalam menjalankan kewenangan yang dimilikinya berdasarkan PP 17 Tahun 1999 dan kewenangan yang diperolehnya dari bank sindikasi dan Danamon selaku agen berdasarkan Kesepakatan Bersama 8 November 2000 tersebut, BPPN telah mengirimkan Surat Peringatan kepada PT GWP selaku debitur, untuk meminta bantuan pengamanan kepada Polda Bali yang dalam surat tersebut secara jelas disebutkan utang kepada seluruh bank sindikasi dengan perincian masing-masing.
Setelah itu, dilakukan penyitaan terhadap aset jaminan milik PT GWP dan untuk seterusnya BPPN telah melakukan penjualan atas piutang tersebut melalui Program Penjualan Aset-aset Kredit (PPAK) VI 2004.
Baca Juga
Seluruh perbuatan hukum yang dilakukan BPPN tersebut dinilai berkesinambungan dan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam PP 17 Tahun 1999.
“Artinya adalah apabila yang ditagihkan sejak awal adalah untuk kewajiban PT GWP seluruhnya, maka yang dijual adalah seluruhnya dari piutang tersebut, meskipun pada akhirnya terjual di bawah nilai buku sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 26 ayat 1 dan 2 PP 17 Tahun 1999," katanya.
Di sisi lain, Berman mengaku tidak pernah dibuat perubahan atau addendum terhadap isi Kesepakatan Bersama tersebut sampai dengan BBPN melaksanakan penjualan atas seluruh piutang PT GWP melalui PPAK VI pada 2004 dan tidak pula menyebutkan bahwa hanya hak tiga atau sebagian dari ketujuh bank sindikasi yang akan ditagihkan dan dijual oleh BPPN.
Dengan demikian, tegas Berman, Bank China Construction Bank Indonesia (CCB) yang dulu bernama Bank Multicor tidak mempunyai hak atas piutang PT GWP lagi karena seluruh bank sindikasi telah menyerahkan kewenangan penyelesaian pengurusan utang PT GWP kepada BPPN.
“Intinya adalah bahwa BPPN telah menjual piutang sindikasi atau aset kredit atas nama PT GWP tersebut melalui PPAK 6 tahun 2004 yang dimenangkan PT Millenium Atlantic Securities,” ujarnya.
Pada 2005, PT Millenium menjual dan mengalihkan hak tagih atas piutang PT GWP tersebut kepada Fireworks Ventures Limited.
Namun, meski telah memegang seluruh dokumen kredit PT GWP, Fireworks belum memegang dokumen asli sertifikat PT GWP berupa tiga SHGB No. 204, 205, 207 serta dua SHT No. 286/1996 dan 962/1996 yang diterbitkan di atasnya dan menjadi jaminan yang diserahkan PT GWP sehubungan fasilitas kredit yang diperolehnya pada 1995.
Karena itu, Edy Nusantara selaku kuasa Fireworks, membuat Laporan Polisi Nomor: LP/948/IX/2016/ Bareskrim, tanggal 21 September 2016 dengan terlapor Tohir Sutanto selaku mantan Direktur Bank Multicor dan Priska Megasari Cahya selaku eksekutif Bank Danamon terkait dengan dugaan penggelapan sertifikat PT GWP tersebut. Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim.
Selanjutnya, pada 15 Maret 2018, tim penyidik Bareskrim menggeledah kantor pusat Bank CCB di Gedung Equity Tower, SCBD, Jakarta, dan mendapatkan konfirmasi bahwa rangkaian dokumen asli sertifikat PT GWP berada dan dikuasai bank tersebut. Namun, manajemen CCB menolak menyerahkan dokumen sertifikat itu karena penyidik tidak mengantongi izin dari PN Jakarta Selatan.
Saat ini penyidik Bareskrim tinggal melakukan penyitaan PT GWP yang dikuasai Bank CCB, karena telah mendapatkan izin penyitaan dari PN Jakarta Selatan dalam Surat Penetapan Nomor 16/Pen Sit 2018/PN Jkt Sel pada 29 Maret 2018.
Namun, di tengah proses penyidikan di Bareskrim yang sudah berstatus P-19 tersebut, Bank CCB mengklaim telah menjual dan mengalihkan hak tagih porsi piutang PT GWP yang diklaimnya itu kepada pengusaha Tomy Winata melalui akta bawah tangan tanggal 12 Februari 2018.
Berpegang akta itu, Tomy Winata mengajukan gugatan wanprestasi kepada PT GWP melalui gugatan perdata Nomor 223/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst. pada PN Jakarta Pusat. Pada 18 Juli 2019, majelis hakim dalam putusannya menolak seluruh gugatan Tomy Winata tersebut.
Sebelumnya, ketika hakim tengah membacakan pertimbangan putusan, Desrizal Chaniago, kuasa hukum Tomy Winata, melepas ikat pinggang dan maju ke meja majelis hakim lalu menyabetkannya kepada majelis hakim, dan mengenai dahi hakim ketua Sunarso dan satu hakim lainnya.
Sejenak terjadi peristiwa tersebut, Desrizal pun diamankan, sementara majelis hakim melanjutkan sidang pembacaan putusan dengan vonis menolak seluruh gugatan Tomy Winata terhadap PT GWP.
Belakangan, Desrizal jadi tersangka, dan perkaranya akan disidangkan mulai Selasa (8/10/2019) di PN Jakarta Pusat.
Hamdan Zoelva dkk, kuasa hukum Desrizal, menggelar jumpa pers, Senin (7/10/2019) menjelaskan latar belakang aksi pemukulan yang dilakukan Desrizal. Menurut Hamdan, Desrizal merasa kecewa dengan pertimbangan putusan majelis hakim yang menolak bukti-bukti yang disodorkannya dalam persidangan.