Bisnis.com, JAKARTA--Eks-anggota kreditur sindikasi PT Geria Wijaya Prestige tidak bisa lagi melakukan penagihan secara parsial setelah seluruh piutang sindikasi itu terjual melalui Program Penjualan Aset-aset Kredit yang digelar Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Guru Besar Hukum Bisnis Fakultas Hukum UGM Profesor Nindyo Pramono menegaskan menurut PP No. 17 Tahun 1999 wewenang itu sepenuhnya berada pada BPPN. Dia mengatakan jika BPPN sudah menjual piutang kreditur tersebut kepada pihak ketiga, penjualan itu sah menurut hukum.
“Dengan demikian tentu tidak ada lagi tagihan-tagihan yang bersifat parsial dalam konteks demikian. Dengan telah terjualnya seluruh aset kredit tersebut oleh BPPN, berarti seluruh hak dan kewajiban terkait dengan kredit dan aset kreditnya telah beralih sepenuhnya kepada kreditur baru yang membeli piutang kredit dan aset tersebut,” kata Nindyo dalam pendapat hukum tentang status Fireworks Ventures Limited sebagai kreditur tunggal PT GWP sebelum hakim membacakan putusan. Salinan pendapat Nindyo tersebut beredar di kalangan wartawan, Selasa (23/7/2019).
Menurut Nindyo, dengan terjualnya piutang atau aset kredit sindikasi melalui PPAK di BPPN dengan menggunakan wewenang PP 17 Tahun 1999 dan munculnya pembeli atau pemegang piutang baru atau kreditur baru dapat diartikan bahwa perjanjian kredit yang sebelumnya menjadi payung hukum hubungan perikatan antara sindikasi dan debitur tersebut sudah berakhir.
“Yang ada saat ini tentu kreditur baru yang secara sah membeli piutang kredit dan aset kredit itu dari BPPN melalui PPAK tersebut,” ungkapnya.
Terkait adanya Akta Kesepakatan Bersama tertanggal 8 November 2000 dan Akta Nomor 65 mengenai Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie) tertanggal 17 Januari 2005 antara PT Millenium Atlantic Securities (MAS) selaku penjual dan Fireworks Venturues Limited sebagai satu-satunya pemegang hak tagih atas seluruh piutang PT GWP terhadap 7 bank sindikasi yaitu Bank PDFCI, Bank Rama, Bank Dharmala, Bank Arta Niaga Kencana, Bank Mulicor, Bank Indovest, dan Bank Finconesia, Nindyo menegaskan BPPN mempunyai wewenang untuk melakukan penagihan piutang bank yang sudah pasti dengan penerbitan surat paksa.
Baca Juga
Menurut Nindyo, jika kemudian BPPN menjual piutang atau hak tagih yang semula dari PT GWP tersebut kepada pihak ketiga—dalam hal ini PT MAS, dan kemudian PT MAS menjual lagi kepada Fireworks, maka berdasarkan hukum, pengalihan hak tagih tersebut adalah sah menurut hukum.
“Fireworks adalah satu-satunya pemegang hak tagih atas seluruh utang PT GWP terhadap tujuh bank sindikasi tersebut,” kata Nindyo.
Seperti diketahui, sengketa klaim atas piutang PT GWP kembali mencuat setelah majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis (18/7/2019) menolak gugatan wanprestasi yang diajukan pengusaha Tomy Winata kepada PT GWP dengan menuntut ganti rugi lebih dari US$ 31 juta.
Majelis hakim dalam pertimbangan putusan perkara perdata Nomor 223/pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst. itu menilai bahwa Tomy Winata selaku pengugat tidak berhak mengajukan gugatan kepada para tergugat yaitu PT GWP dkk karena permasalahan utang-piutang telah diselesaikan secara tuntas oleh bank sindikasi dengan BPPN.
Tomy Winata diketahui membeli dan menerima pengalihan apa yang diklaim sebagai porsi piutang PT GWP milik Bank China Construction Bank Indonesia yang dulu bernama Bank Multicor, melalui akta bawah tangan pengalihan piutang (cessie) tanggal 12 Februari 2018.
Selain Bank Multicor (Bank CCB), dua eks-bank sindikasi lainnya yang mengklaim masih memiliki porsi piutang PT GWP adalah Bank Agris (dulu Bank Finconesia), dan Bank Commonwealth (dulu Bank Arta Niaga Kencana). Di kemudian hari, Bank Agris mengalihkan klaimnya kepada Alfort Capital Limited, sementara Bank Commonwealth mengalihkannya ke Gaston Investment Limited.