Bisnis.com, JAKARTA- Anggota DPR yang baru dilantik diingatkan untuk serius memerhatikan isu-isu krusial dalanm RUU Perkoperasian.
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto mengatakan bahwa agenda pengesahan RUU Perkoperasian yang sedianya akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada akhir September, akhirnya dan dimasukkan dalam agenda pembahasan oleh anggota DPR periode 2019-2024.
Hal ini, lanjutnya, dikarenakan banyak anggota masyarakat yang tidak menyetujui berbagai poin pasal substansial seperti misalnya keberadaan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sebagai wadah tunggal, pemaksaan iuran untuk dewan itu bagi semua koperasi, penggunaan dana APBN/APBD untuk koperasi, pengkerdilan koperasi karena dianggap sebagai badan hukum kelas dua, hanya jadikan tempat penyaluran kredit perbankkan, dan birokratisasi bagi kelembagaan koperasi dan lain sebagainya.
“Perjalanan proses penggantian UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sudah cukup lama. Sudah dilakukan pembahasan sejak tahun 2000 atas usulan masyarakat yang kemudian jadi inisiatif Pemerintah,” ujarnya, Sabtu (5/10/2019).
Lanjutnya, melalui pembahasan yang panjang akhirnya RUU inisiatif pemerintah tersebut disahkan menjadi UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dan tidak lama berselang langsung mendapat reaksi keras berbagai kelompok masyarakat untuk diuji materi ke Mahkamah Konstitusi ( MK) yang berujung pembatalan sepenuhnya oleh MK karena secara substansi dianggap inkonstitusional.
UU No. 17 Tahun 2012 waktu itu, tuturnya, hanya kelanjutan dari UU No. 25 Tahun 1992 yang tempatkan koperasi sebagai badan hukum semata dan juga banyak diintervensi dan langgar prinsip demokrasi koperasi seperti pencantuman Dekopin sebagai wadah tunggal hingga banyak berpotensi merugikan masyarakat koperasi.
“UU No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian yang berlaku sementara saat ini sebetulnya juga sudah tidak memenuhi syarat dalam menjamin tumbuh berkembangnya koperasi yang baik karena selain hanya tempatkan koperasi sebagai badan usaha, tidak memberikan pengakuan mendasar terhadap nilai dan prinsip koperasi, juga tidak imperatif dan berikan distingsi bagi pengembangan koperasi yang baik,” paparnya.
Untuk itu, menurutnya, pembahasan RUU Perkoperasian yang diserahkan ke anggota DPR yang baru harus serius perhatikan masalah krusial seperti jaminan otonomi dan kemandirian koperasi, hak berdemokrasi, ancaman berbagai upaya pengkerdilan terhadap koperasi.
Kelompok masyarakat sipil dan gerakan koperasi menurutnya harus tetap waspada karena ada beberapa kelompok tertentu yang coba terus paksakan kehendaknya agar mereka mendapat fasilitas dan keuntungan bagi kelompoknya melalui undang-undang.
“Mereka itu sangat sistematis dan terstruktur dalam mengintervensi RUU perkoperasian, bahkan sejak masih jadi draft di Pemerintah mereka sudah terus berusaha untuk melalukan upaya perusakan,” pungkasnya.