Bisnis.com, JAKARTA - Hizbut Tahrir, organisasi revivalis yang memperjuangan sistem transnasional atau dikenal dengan istilah khilafah, sudah cukup lama masuk ke Indonesia. Hizbut Tahrir dinamai sebagai organisasi revivalis karena ingin menjadikan Islam sebagai referensi dalam ruang publik secara kaaffah atau menyeluruh.
“Di antaranya dengan mengimplementasikan syariah (hukum Islam) dan mendirikan Khilafah,” ujar Fahlesa Munabari, mantan Dekan FISIP Universitas Budi Luhur yang juga aktif di Pusat Studi Komunikasi dan Keindonesiaan.
Fahlesa menambahkan Islam sejatinya transnasional, namun yang membawa gagasan politik Islam dalam bentuk Khilafah hanya HT. Fahlesa menyebutkan bahwa HT masuk ke suatu negara dengan cara tertentu.
“Mereka penetrasi ke suatu negara di awal-awal dengan melihat terlebih dahulu apakah kondisi negara itu memungkinkan atau tidak bagi mereka untuk bisa beraktivitas,” papar Fahlesa. “Kalau sistem pemerintahannya otoriter, maka HT akan beroperasi secara diam-diam,” lanjut Fahlesa sembari menyebut situasi zaman Orde Baru.
Di Indonesia, lanjut Fahlesa, HT baru membuka identitasnya setelah era reformasi sekitar tahun 2000.
Penulis buku Mendamaikan Syariah dan NKRI: Strategi Mobilisasi dan Retorika Gerakan Islam Revivalis di Indonesia ini menyebutkan, di Indonesia HT masuk melalu kampus dan nonkampus dalam hal ini masuk lewat masyarakat. Bisa melalui pengajian kelompok kecil bisa juga terbuka di mesjid.
Baca Juga
Fahlesa menyebutkan HT sudah masuk Indonesia sejak 1980-an, bermula di IPB, Bogor. “Oleh sebab itu, Bogor dikenal sebagai pusatnya HT di Indonesia.”
Bai’at dan Cap Terorisme
Fahlesa tidak menampik bahwa dalam komunitas HT juga berlaku bai’at. Hal itu, ujarnya, merupakan tradisi dalam Islam dan dalam gerakan-gerakan Islam selain HT.
Tapi, tegasnya, bai’at bukan penanda bahwa sebuah kelompok otomatis bagian dari organisasi radikal apalagi teroris.
“Ini hanyalah simbol, mekanisme pengakuan terhadap pemimpin organisasi Islam,” terang Fahlesa.
Lebih jauh dia menegaskan bahwa di zaman Rasulullah dan Khulafaurrashidin juga ada bai’at.
Lebih jauh Fahlesa menyebutkan bahwa HT termasuk organisasi Islam revivalis yang paling strict alias ketat atau kaku. “Aturan organisasi dilaksanakan secara ketat dan terpusat di Timur Tengah.”
Sebagai organisasi yang ingin menjadikan Islam sebagai referensi dalam ruang publik, HT tidak bisa disamakan dengan ISIS.
“ISIS adalah kelompok yang bisa dikatakan sebagai kelompok teror, bukan gerakan sosial seperti HT,” ujar Fahlesa.
Meski begitu, Fahlesa tidak membantah jika HT dan ideologi khilafahnya menjadi ancaman bagi sebuah negara. “Tentu, karena sistem negara-bangsa (nation-state) berbeda dengan sistem khilafah.”
Karena itu, ujar Fahlesa, HT tidak bisa berdampingan dengan ideologi yang dimiliki sebuah negara termasuk NKRI dengan ideologi Pancasila. Meski begitu, HT tidak menganut kekerasan dalam metode perjuangannya. Hal itu beda denga FPI misal Fahlesa.
Soal mengapa HT bisa bertahan di Indonesia, Fahlesa menyebutkan hal itu perlu ditanyakan ke rezim Gus Dur, rezim Mega, dan rezim SBY. “Mereka tahu kok tentang HTI, tapi dibiarkan karena mereka tidak melihat adanya ancaman kekerasan dari HTI.”
Selain itu, soal diterima dan ditolaknya HT di Indonesia tak lepas dari interpretasi rezim yang memerintah dan tergantung hak prerogatif presiden.
“FPI menggunakan kekerasan tapi enggak pernah dibubarin. HTI tidak menggunakan kekerasan tapi dibubarkan pemerintah. Mengapa? Argumentasi saya sebagai peneliti, kemungkinan besar karena FPI masih banyak dibutuhkan para pemangku kepentingan di tanah air,” ujar Fahlesa.
Peraih gelar Ph.D dari The University of New South Wales, Australia ini menyebut pemilihan umum sebagai ilustrasi. Anggota HTI tidak mau ikut mencoblos, berbeda dengan kelompok atau organisasi lain.