Bisnis.com, JAKARTA -- Ekonomi China mencatatkan laju pertumbuhan paling lambat sejak awal 1990-an di tengah kebuntuan perdagangan yang sedang berlangsung dengan Amerika Serikat.
Pada saat yang sama, indikator ekonomi bulanan menunjukkan tanda-tanda bahwa stabilisasi sedang dimulai.
Produk domestik bruto (PDB) tumbuh sebesar 6,2% secara tahunan pada periode April hingga Juni, sedikit lebih rendah dari ekspansi pada kuartal sebelumya pada level 6,4%.
Sepanjang Juni, output manufaktur naik 6,3%, sedangkan penjualan ritel turut tumbuh sebesar 9,8%.
Di sisi lain, kegiatan investasi berhasil mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 5,8% untuk paruh pertama 2019.
Ketiga indikator tersebut melampaui hitungan perkiraan yang membuktikan bahwa langkah stimulus pemerintahan Xi Jinping untuk menahan perlambatan mulai memperlihatkan efeknya.
Meski demikian, perlambatan pada pertumbuhan ekonomi kembali menekankan tekanan yang dihadapi oleh pembuat kebijakan China untuk melakukan negosiasi kesepakatan dagang dengan AS, sambil berupaya menyeimbangkan tujuan penciptaan lapangan kerja dan meredakan risiko keuangan domestik.
Walaupun saat ini negosiator Beijing telah memulai kembali perundingan dengan rekan-rekan dari Washington, hingga saat ini tidak ada kepastian bahwa kesepakatan akan tercapai pada waktunya untuk mencegah penurunan ekonomi lebih lanjut.
"Pertumbuhan pada kuartal kedua cukup lemah. Tapi untuk sisa tahun ini, kami mengharapkan pemulihan yang moderat berkat stimulus," kata Ding Shuang, Kepala Ekonom untuk kawasan China dan Asia Utara di Standard Chartered Bank Ltd. Hong Kong, seperti dikutip melalui Bloomberg, Senin (15/7/2019).
Adapun, pertumbuhan investasi fixed asset pada semester pertama mengalami percepatan khususnya di perusahaan swasta, sedangkan perusahaan negara mencatatkan penurunan.
Hal ini menandakan bahwa upaya pemerintah untuk menyalurkan uang tunai ke sektor swasta mungkin membuahkan hasil.
Menggunakan data resmi, perhitungan Bloomberg terhadap pertumbuhan PDB nominal pada kuartal kedua meningkat menjadi sekitar 8% dari 7,8% pada kuartal sebelumnya, sehingga deflator PDB menjadi sedikit lebih tinggi yakni sebesar 1,8%.
Deflator PDB yang lebih tinggi dapat mengurangi tekanan pada laba perusahaan dan mendorong pertumbuhan pendapatan fiskal pemerintah.