Bisnis.com, JAKARTA - Peradilan in absentia atau persidangan tanpa kehadiran terdakwa jadi opsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyeret pengendali saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim.
Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Hanya saja, Sjamsul dan Itjih kini tengah berada di Singapura dengan status tinggal tetap (permanent residence). KPK tak tinggal diam untuk tetap menyeret keduanya untuk meminta pertanggungjawaban atas kasus megakorupsi SKL BLBI.
Apalagi, berkali-kali panggilan KPK terhadap keduanya secara formal maupun informal sebelum jadi tersangka tak pernah sekalipun dipenuhi.
"Jika tidak kooperatif, kami berniat kasus ini disidangkan secara in absentia," kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif, Senin (10/6/2019).
Syarif mengingatkan agar keduanya dapat kooperatif dalam menempuh proses hukum yang berjalan. Dia juga mengaku bahwa pengadilan secara in absentia terbilang sedikit rumit bila menghadirkan keterangan yang sepihak.
Akan tetapi, lanjut Syarif, persidangan secara in absentia telah dimungkinkan bagi Sjamsul dan Itjih. KPK pun telah meminta pendapat terhadap para ahli hukum.
"Kita memang sudah yakin seandainya yang bersangkutan tidak kooperatif akan disidangkan secara in absentia. Tapi, kerja sama internasional KPK upayakan semaksimal mungkin agar bisa disidangkan [dengan kehadiran kedua tersangka]," kata Syarif.
Menurut Syarif, KPK dan komisi antikorupsi Singapura yakni Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) telah menjalin koordinasi dalam penanganan kasus BLBI dengan tersangka Sjamsul dan Itjih Nursalim.
Kerja sama itu juga dalam melacak aset Sjamsul Nursalim dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. "Kerja sama dengan Singapura berjalan lancar," kata dia.
Menurut Syarif, tak hanya sekedar tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan Sjamsul, pemindanaan korporasi dan beneficial ownership juga dimungkinkan dalam kasus ini.
"Jadi sekali lagi KPK ingin menyampaikan bahwa pilihan KPK banyak tapi untuk yang pertama ini cukup yang ada sekarang mekanisme pasal 2 dan 3 karena itu kami berharap kepada yang bersangkutan kooperatif," kata Syarif.