Bisnis.com, JAKARTA – Perdana Menteri (PM) Inggris Theresa May diperkirakan mengumumkan tanggal pengunduran dirinya pada hari ini, Jumat (24/5/2019), waktu setempat.
Hal itu serta merta memicu semacam kompetisi yang akan mengantar pemimpin baru kemungkinan mendorong kesepakatan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) yang lebih menentukan.
May dijadwalkan akan bertemu dengan Ketua Komite 1922 Partai Konservatif, untuk menentukan jadwal pengunduran dirinya. Sementara itu, para menteri kabinet memperkirakan May akan membuat pernyataan pada Jumat pagi waktu setempat.
“Komite 1922 ‘datang dengan sebuah revolver dan mengarahkannya ke kepala PM May’," ungkap Gus O'Donnell, pegawai negeri sipil Inggris dari tahun 2005 hingga 2011, menggambarkan perihal pertemuan May dengan Komite 1922.
“Dia (Graham Brady, Ketua Komite 1922) akan meninggalkan ruangan itu dan mungkin meninggalkan revolver di sana,” lanjutnya.
May, yang menjabat sebagai PM Inggris pasca pemungutan suara Brexit pada 2016, mundur dengan janji yang tak terpenuhi yakni untuk memimpin Inggris keluar dari blok UE dan memulihkan divisi-divisinya.
Berulang kali, May menghadapi krisis dan penghinaan dalam upayanya untuk menemukan kompromi kesepakatan Brexit yang dapat diratifikasi oleh parlemen.
Dengan pengunduran dirinya ini, ia meninggalkan kondisi negara dan elit politik terpecah yang buntu soal bagaimana, kapan, atau apakah akan meninggalkan Uni Eropa.
Bendahara Komite 1922, Geoffrey Clifton-Brown, mengutarakan harapannya agar May dapat tetap berlaku sebagai PM sementara hingga penggantinya terpilih.
“Akan jauh lebih teratur jika dia tetap menjabat saat kita menjalani proses pemilihan pemimpin Partai Konservatif yang pada akhirnya akan mengambil alih sebagai perdana menteri,” terang Clifton-Brown kepada BBC.
Proses pemilihan kepemimpinan kemungkinan akan berlangsung sekitar enam pekan, dimulai pada 10 Juni, setelah kunjungan kenegaraan Presiden AS Donald Trump ke Inggris.
Kepergian May akan memperdalam krisis Brexit karena pemimpin baru kemungkinan menginginkan perpecahan dengan UE yang lebih alot, sehingga meningkatkan kemungkinan konfrontasi dengan Uni Eropa dan adanya pemilihan parlemen dini.
Boris Johnson, wajah kampanye resmi Brexit pada 2016, difavoritkan menjadi pengganti May. Nama lain yang masuk bursa pertaruhan adalah Dominic Raab, seorang pendukung Brexit dan mantan Menteri Brexit.