Bisnis.com, JAKARTA – Wakil Ketua DPR sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon tak sepakat bila terminologi people power diasosiasikan dengan makar. Justru, menurutnya itu adalah bagian dari demokrasi.
People power pada awalnya diserukan oleh tokoh Partai Amanat Nasional, Amien Rais. Di Masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat, pada 31 Maret, Amien menyatakan tak akan ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika ada kecurangan dalam pemilu, namun menggerakkan massa alias people power.
“Kalau nanti terjadi kecurangan, kita nggak akan ke MK (Mahkamah Konstitusi). Nggak ada gunannya, tapi kita people power, people power, sah,” kata Amien ketika itu.
Akhirnya istilah people power banyak dipakai kubu pendukung capres-cawapres 02 dalam menyikapi dugaan kecurangan yang selalu mereka tuduhkan, walaupun data detailnya belum dipaparkan. Sampai akhirnya, polisi menjerat Eggi Sudjana dengan pasal makar yang disebut-sebut terkait dengan people power.
Lewat kultwitnya di akun @fadlizon, politisi tersebut membagikan pandangannya soal people power di Twitter. Fadli Zon menilai apa yang dilakukan pemerintah dan aparat saat ini adalah melakukan framing people power sebagai bentuk makar.
Menurut Fadli, semua orang yang menggunakan kata 'people power' tiba-tiba saja bisa dikriminalisasi aparat kepolisian, dituduh makar, ditangkap, dan diperlakukan sebagai pesakitan. “Menurut saya, tindakan sewenang-wenang semacam itu harus dihentikan, karena berbahaya bagi demokrasi,” katanya, Rabu (15/5/2019).
Ia mengklaim bahwa people power adalah bagian dari ekspresi demokrasi, dan tidak ada kaitannya dengan makar. Merujuk kamus Oxford Dictionary, katanya, people power disebut sebagai bentuk tekanan politik melalui aksi massa untuk memenangkan pendapat umum.
Jadi, menurutnya, people power merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat yang dijamin oleh konstitusi, khususnya Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), secara semantik makar berarti (1) akal busuk, tipu muslihat; (2) perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang dan sebagainya; atau (3) perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.
“Dari tiga pengertian berdasarkan KBBI tersebut kita bisa membuat kesimpulan kalau makar pada dasarnya adalah sebuah tindakan yang dilakukan untuk menjatuhkan pemerintahan dengan cara membunuh atau menyerang,” lanjutnya.
KUHP
Apabila merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, kata 'makar' sebenarnya merupakan serapan atas kata 'anslaag' dari bahasa Belanda.
Menurutnya, penyerapan 'anslaag' sebagai 'makar' itu pun sebenarnya bermasalah. Sebab, lanjut Fadli, seharusnya konsep 'anslaag' diterjemahkan sebagai “penggulingkan pemerintah dengan kekerasan”.
“Jadi, hanya upaya untuk menggulingkan pemerintah dengan kekerasan saja yang bisa dikenai pasal ‘anslaag’. Gerakan massa, sebesar apapun, jika tanpa kekerasan, dan tak dimaksudkan untuk menggulingkan kekuasaan, tak bisa dikenai pasal ‘anslaag’.”
Masalahnya adalah karena kata ‘anslaag’ diserap sebagai ‘makar’ dalam bahasa Indonesia, maka pengertian ‘anslaag’ dalam sistem hukum kita akhirnya jadi rancu, alias multitafsir.
“Itu sebabnya pasal makar jadi mudah sekali dijadikan pasal karet oleh penguasa. Padahal, konsepsi hukum pidana tak boleh diartikan lentur, tidak boleh dua arti. Harus penafsiran tunggal.”
Ia meneruskan, di dalam KUHP sendiri ada berbagai jenis pasal makar. Beberapa di antaranya Pasal 104 KUHP tentang makar keselamatan Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 106 KUHP makar wilayah negara, Pasal 107 KUHP makar pemerintahan, Pasal 139a makar wilayah negara sahabat, Pasal 139b makar pemerintahan sahabat, Pasal 140 makar raja atau kepala negara sahabat.
Menurutnya, tak ada satu pasalpun yang jadi jembatan pengertian yang menghubungkan kata ‘people power’ dangan kata ‘makar.’
Ia balik menuduh bahwa tim kampanye Jokowi pada 2014 menggunakan istilah ‘people power’ untuk meminta jaminan Pemilu diselenggarakan secara jujur dan adil. “Bisa dicek. Jejak digitalnya masih ada.”
“Seingat saya, terakhir kali pasal makar digunakan untuk menjerat aktivis adalah pada 1998, pada masa rezim Habibie. Tuduhan makar itu diberikan kepada Letjen (Purn) Kemal Idris dan kawan-kawan, yang tergabung dalam Barisan Nasional, yang dianggap telah melakukan perbuatan makar.”
Itupun, lanjutnya, aparat kepolisian kemudian tidak mengenakan pasal-pasal yang berkaitan dengan tindakan makar, tetapi pasal-pasal permufakatan.
“Penangkapan-penangkapan terhadap aktivis yang terjadi di masa rezim Megawati dan SBY, misalnya, tak pernah menggunakan pasal makar, melainkan hanya pasal penghinaan terhadap kepala negara atau tuduhan dalang kerusuhan saja, seperti yang pernah diberikan kepada Ferry Juliantono di masa SBY.”
33) Bagi saya, menghidupkan lagi pasal makar adalah bentuk pemunduran demokrasi. Apalagi, pasal itu hendak dikenakan pada masyarakat yang sedang berusaha menggunakan hak politik mereka untuk menyatakan pendapat di muka umum.
— Fadli Zon (@fadlizon) May 15, 2019