Bisnis.com, JAKARTA - Wacana perpindahan Ibu Kota dari DKI Jakarta ke daerah lain tak bisa hanya dipandang dari segi ekonomi dan ekologis. Persoalan regulasi, administratif serta faktor politik juga harus dipertimbangkan dan menjadi bahan pembicaraan.
Jika Ibu Kota jadi dipindahkan ke luar Jakarta, sejumlah regulasi dianggap perlu diperbaiki. Setidaknya, undang-undang tentang kota perlu dibuat.
Pandangan itu dikemukakan Pelaksana tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik. Menurutnya, UU Kota diperlukan untuk mengatur wewenang dan jenis ibu kota baru.
"Nanti tentunya kami akan segera mengusulkan, membentuk sebuah UU tentang kota. UU Kota akan menjadi payung tumbuhnya smart city yang lebih baik ke depan," kata Akmal di kawasan Tugu Tani, Jakarta, Kamis (9/5/2019).
Hingga kini, peraturan mengenai Ibu Kota negara termaktub dalam UU 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI. Jika Ibu Kota jadi dipindah ke luar Jakarta, maka UU itu harus direvisi.
Pengaturan khusus tentang Ibu Kota akan memperjelas bagaimana format kota baru yang akan digunakan sebagai pusat pemerintahan nanti.
Perubahan Peraturan
Selama ini, DKI Jakarta diatur sebagai provinsi khusus yang memiliki 5 kota dan 1 kabupaten administratif. Akan tetapi, sifat DKI Jakarta sebagai provinsi adalah daerah otonom.
Karena statusnya sebagai daerah otonom, maka DKI Jakarta berhak menggelar pilkada tiap 5 tahun sekali untuk menentukan gubernur dan wakil gubernur yang akan memimpin pemerintahan daerah.
Pilkada tak digelar di tingkat kabupaten/kota, karena seluruh bupati dan wali kota di Jakarta bekerja berdasarkan penunjukan gubernur terpilih.
Akmal mengatakan, pemindahan Ibu Kota juga harus diikuti dengan perubahan aturan agar status Jakarta nanti tetap jelas apakah kembali menjadi daerah biasa atau khusus. Dia menjelaskan, dalam praktik kebijakan desentralisasi di dunia selama ini ada 5 sebab yang bisa menjadikan suatu daerah diberikan kekhususan.
Kekhususan dapat diberikan ke daerah yang menjadi ibu kota negara, daerah yang berkonflik, daerah yang kaya sejarah dan budaya, daerah untuk pertumbuhan ekonomi, dan daerah yang berada di perbatasan negara.
“Kalau dia [Jakarta] kembali ke daerah otonom akan bermasalah. Artinya, ada ruang bagi DKI Jakarta jadi daerah otonomi khusus sebagai pusat pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Potensi Perdebatan
Pelaksana tugas Direktur tentang Penataan Daerah dan Otonomi Khusus Kemendagri Andi Bataralifu mengatakan, ada potensi perdebatan soal kedudukan kabupaten/kota di Jakarta mencuat jika ibu kota resmi dipindahkan nanti.
Perdebatan berpeluang muncul karena selama ini kabupaten/kota di Jakarta bersifat administratif. Tak tertutup kemungkinan status mereka akan berubah jadi daerah otonom jika ibu kita pindah dari Jakarta.
Andi juga menyebut perdebatan soal bentuk ibu kota baru berpeluang terjadi. Menurutnya, pasti akan ada pembicaraan apakah ibu kota baru nanti bersifat otonom atau administratif saja.
“Terhadap daerah Ibu Kota yang baru, misalnya salah satu daerah di Kalimantan, tentu yang diatur dalam konteks ini adalah, apakah mekanismenya posisi ibu kota diadopsi seperti Jakarta atau tidak. Artinya apakah kabupaten/kota di provinsi itu akan jadi kota administratif atau daerah otonom,” kata Andi.
Dia memprediksi kedepannya akan muncul wacana agar ibu kota baru berstatus kota administratif. Artinya, di Ibu Kota baru nanti tak akan ada pemilihan kepala daerah, Namun wali kota di sana ditunjuk langsung oleh presiden.
Kota Administratif
Pendapat agar Ibu Kota baru bersifat kota administratif didukung eks Dirjen Otda Kemendagri Sumarsono. Menurutnya, status sebagai kota administratif dapat menekan potensi terjadinya hiruk pikuk akibat kontestasi politik lokal lima tahunan di Ibu Kota baru.
“Jadi dibuat kota administratif saja yang langsung ditunjuk oleh presiden (walikotanya). Jadi nggak perlu ribut-ribut, tak perlu ada hiruk pikuk luar biasa,” kata Sumarsono.
Untuk mengatur status kota di Ibu Kota baru, harus ada pembuatan UU baru. Beleid baru yang dimaksud ditujukan untuk mengatur ibu kota secara khusus, seperti UU 29/2007 yang berlaku bagi DKI Jakarta.
Sumarsono mengatakan, revisi UU 29/2007 dan pembuatan UU baru bagi ibu kota pengganti Jakarta menjadi dua hal paling utama yang harus dilakukan. Setelah itu, barulah pemerintah bersama DPR bisa merevisi beleid-beleid lain seperti UU Pemda dan UU Tata Ruang, agar penataan ibu kota berjalan bagus kedepannya.
Dia juga menyebut sejumlah hal yang harus dimiliki Ibu Kota baru nanti adalah masyarakat yang terbuka serta lahan yang luas dan berukuran minimal 60.000 hektare.
“Untuk bangun komunikasi yang baik, karena tak semua kementerian pindah, maka dikembangkanlah yang namanya dukungan administrasi ke publik mengurangi tatap muka, pakai [sistem] online. Itu akan kurangi problem tatap muka fisik yang menyebabkan public administration menjadi mahal,” katanya.
Peluang Efisiensi
Terlepas dari keperluan regulasi baru serta revisi aturan yang ada, pemindahan Ibu Kota dianggap perlu segera dilaksanakan. Banyak alasan yang menyertai pendapat itu, salah satunya karena Jakarta dianggap tak lagi bisa menjadi tempat kegiatan pemerintahan pusat yang efisien.
Ahli arsitektur dan perkotaan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Profesor Johan Silas mengungkap, wacana pemindahan ibu Kota Sebenarnya bukan barang baru. Bahkan, dia menyebut rencana itu sudah muncul sejak jaman penjajahan Belanda di Indonesia.
Menurut Johan, Jakarta tak bisa lagi menjadi ibu kota lantaran kerap dibayangi masalah seperti banjir dan kemacetan. Masalah-masalah itu dianggapnya berpengaruh terhadap kinerja aparatur negara.
“Memang kalau mau maju ke depan kita harus punya ibu kota yang ditata secara efisien. Belanda sendiri sudah merasakan bahwa ibu kota Jakarta itu nggak bisa. Makanya dibuat Bogor, Bandung. Bandung itu sebenarnya calon menggantikan Jakarta sebagai Ibu Kota di jaman Belanda,” kata Johan kepada Bisnis, Senin (13/5/2019).
Perpindahan Ibu Kota suatu negara dari satu daerah ke daerah lain sebenarnya bukan hal asing. Beberapa negara sempat memindahkan ibu kotanya seperti Malaysia, Brasil, Amerika Serikat, dan Jerman.
Menurut Johan, perpindahan ibu kota di negara-negara itu kerap diikuti dengan terbangunnya pusat perekonomian baru dan efisiensi pemerintahan. Dia mencontohkan, saat Jerman masih terbagi ke dua wilayah pasca perang dunia kedua, pemerintah negara itu berhasil menjalani keseharian di ibu kota sementara di Bonn.
Kala itu, Bonn menjadi Ibu Kota Jerman Barat. Johan mengatakan, Kota Bonnbegitu efisien sehingga bisa berstatus Ibu Kota hingga Jerman bersatu pada akhir 1990.
“Jerman dengan Ibu Kota Bonn berhasil bangkit setelah porak poranda, hancur kalah perang. Bahkan dari Bonn juga Jerman bisa disatukan lagi,” tuturnya.
Agar Ibu Kota bisa digunakan secara efisien, Johan menyarankan pemerintah memilih daerah yang kecil resiko bencana dan konfliknya. Dia sepakat dengan rencana pemerintah menggeser ibu kota ke luar Pulau Jawa, lantaran pulau ini dianggap sudah “terlalu berlebihan.”
Menurut Johan, besar kemungkinan efisiensi dan titik-titik perekonomian baru muncul jika ibu kota dipindahkan ke Pulau Kalimantan. Selain karena letaknya yang strategis dan minim resiko bencana alam, Kalimantan dianggap punya banyak potensi ekonomi untuk tumbuh.