Bisnis.com, JAKARTA — Efisiensi pada Pemilu serentak tahun ini ternyata tak seperti yang diharapkan. Selain ongkos APBN membengkak, petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang menjadi korban telah mencapai 382 orang meninggal dunia.
Peneliti Senior Populi Center Afri Afrimadona menilai, ongkos Rp25,59 triliun yang digelontorkan pemerintah, tidak sebanding dengan kerja keras petugas KPPS menghadapi kompleksitas pemilu.
"Itu angka yang sangat besar sekali untuk penyelenggara pemilu dengan jabatan-jabatan yang dikompetisikan sangat banyak. Kompleksitas ini tak terantisipasi," ucap Afri dalam acara diskusi Evaluasi Pemilu 2019 Serentak di Kantor Populi Center, Kamis (2/5/2019).
Beberapa faktor yang menyebabkan Pemilu Serentak 2019 ini mahal, yaitu prioritas KPU untuk memberi kenyamanan pemilih. Kabar baiknya, memang antusiasme pemilih menjadi tinggi, dengan prediksi mencapai 80 persen suara nasional.
Tetapi, jumlah TPS membengkak menjadi 813.350 TPS akibat pemilih maksimal per TPS dikurangi dari sebelumnya 500 orang menjadi 300 orang. Padahal 60-65 persen biaya pemilu dihabiskan untuk membiayai petugas TPS.
Dalam kesempatan yang sama, ahli pemilu sekaligus peneliti senior Perludem Didik Supriyanto mengungkap bahwa sebenarnya KPU telah melakukan simulasi disegala keputusannya.
Termasuk simulasi penghitungan suara, yang memprediksi bahwa proses penghitungan suara akan selesai pada pukul 24.00 sampai 02.00 dini hari.
"Tapi sebetulnya itu kan sudah menyiksa. Lha wong dia [petugas KPPS] kerja sejak kemarin. Faktanya kan lebih rumit dari simulasi. Karena surat suaranya asli, karena tekanan politik, karena keributan ini itu, maka akibatnya banyak meninggal," ujar Didik.
Oleh sebab itu, Didik menyebut banyak penyederhanaan yang bisa diterapkan untuk pemilu berikutnya, agar terjadi efektivitas pelaksanaan dan efisiensi anggaran pemilu.
Pertama, kurangi petugas pengawasan di tingkat TPS. Sebab, pekerjaannya tak terlalu urgen, berbanding terbalik dengan petugas KPPS yang memiliki tuntutan kerja lebih padat.
Kedua, memisahkan pemilu nasional (Presiden-Wakil Presiden bersama DPR RI), pemilu regional tingkat provinsi (Gubernur bersama DPRD Prov), kemudian, pemilu regional tingkat kabupaten/kota (Bupati/Wali Kota bersama DPRD kab/kota).
Ketiga, menyederhanakan Pemilu Legislatif (Pileg). Sebab, Didik mengingatkan kembali pada Pileg 2014 sebelum Pemilu Serentak sudah ada pula 157 petugas KPPS yang meninggal akibat tekanan penghitungan suara caleg.
Belum lagi biaya yang dibutuhkan untuk mencetak surat suara dengan berbagai varian di tiap Dapil, serta pendistribusian ke seluruh penjuru negeri yang terlampau mahal. Sehingga diwarnai adanya surat suara rusak, tertukar, atau terlambat semakin banyak.
"Karena di pemilu legislatif, pemilih itu sebenarnya mabok. Di legislatif saja, loh. Hitung saja kemarin pemilih itu untuk memilih 4 calon [DPR RI, DPRD Prov, DPRD Kab/Kota, DPD] harus menghadapi 200 sampai 600 calon. Jadi mana mungkin pemilih bisa bersikap rasional kalau calonnya sedemikian banyak," ujarnya.
"Makanya The Economist menyebut Pemilu legislatif Indonesia paling rumit sedunia itu sejak 2004. Tapi terluang di 2009, kemudian 2014 tetap lebih rumit lagi. Nah, tahun ini, Indonesia memecahkan rekornya sendiri sebagai pemilu paling rumit bukan main," ungkap Didik.
Pemilu Serentak Butuh Penyederhanaan
Selain ongkos APBN membengkak, petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang menjadi korban telah mencapai 382 orang meninggal dunia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Aziz Rahardyan
Editor : Miftahul Ulum
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
1 jam yang lalu