Kabar24.com, JAKARTA — Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menguatkan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menunjukkan proses pembuktian kartel kendaraan roda dua yang dilakukan selama ini berjalan sesuai prosedur.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Saragih mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan kasasi PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) dan PT Astra Honda Motor (AHM).
Putusan tersebut, menurutnya, merupakan putusan yang bijaksana sebagaimana putusan KPPU dalam persidangan sebelumnya.
“Kami mengapresiasi putusan MA yang menguatkan putusan KPPU, terutama di bagian pembuktian ekonomi,” ujarnya, Senin (29/4/2019).
Menurutnya, komisi tersebut memang kerap menggunakan data-data dan analisis ekonomi, termasuk dalam perkara kartel antara dua produsen terbesar kendaraan roda dua di Indonesia.
Dengan diterimanya bukti-bukti tersebut menandakan bahwa MA kian tidak meragukan pembuktian ekonomi dalam perkara pelanggaran persaingan usaha.
Bukti ekonomi, menurutnya, kerap digunakan oleh negara-negara yang menerapkan hukum persaingan usaha, seperti Amerika Serikat, Italia, dan Jepang.
KPPU, lanjutnya, sering menggunakan bukti ekonomi berupa analisis terhadap hasil pengolahan data yang mencerminkan terjadinya keuntungan yang tidak biasa lantaran bukan berasal dari peningkatan efisiensi dan produktivitas perusahaan.
“Sejauh ini, di Indonesia, pembuktian menggunakan bukti ekonomi sudah digunakan untuk perkara kartel ban, minyak goreng serta fuel surcharge,” tuturnya.
Dalam putusan Nomor 217 K/Pdt.Sus-KPPU/2019, MA menguatkan putusan pengadilan di bawahnya, yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Artinya, putusan KPPU yang menyatakan bahwa telah terjadi kartel harga motor inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
Dengan adanya putusan kasasi tersebut, baik YIMM maupun AHM harus membayar denda yang besarannya sesuai dengan putusan KPPU sebelumnya.
Pada 2017, KPPU menjatuhkan denda maksimal untuk Yamaha yaitu Rp25 miliar, sedangkan Honda didenda Rp22,5 miliar.
Sebagaimana dilansir pada situs resmi MA, perkara yang masuk pada 25 Februari itu telah diputus oleh majelis hakim yang diketuai oleh Yakup Ginting dan didampingi oleh Ibrahim serta Zahrul Rabain, pada 23 April 2019.
“Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi I. PT Astra Honda Motor, II. PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing tersebut,” kata majelis hakim agung dalam amarnya, seperti dikutip Bisnis, Senin (29/4).
Pada 28 Desember 2017, PT YIMM dan PT AHM telah mengajukan memori kasasi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Utara, sebagai tindak lanjut atas pernyataan kasasi yang telah diajukan sebelumnya.
Ketika itu, kuasa hukum PT YIMM, Asep Ridwan mengatakan bahwa sudah saatnya MA secara kritis memeriksa putusan KPPU yang dalam prosesnya memiliki potensi mengabaikan fakta persidangan dan tidak sesuai process of law.
Sebelumnya, pada 5 November 2017, Pengadilan Negeri Jakarta Utara menolak keberatan PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra Honda Motor atas putusan KPPU tentang persekongkolan penetapan harga jual motor skuter matik 110cc—125cc.
Dalam pertimbangan majelis hakim, tidak satupun poin-poin keberatan yang disampaikan PT YIMM ataupun PT Astra Honda Motor (PT AHM) diterima.
“Menolak seluruh eksepsi pemohon keberatan, menolak keberatan pemohon I dan II, serta menguatkan putusan KPPU,” tutur Ketua Majelis Titus Tandi dalam amar putusan perkara 163/Pdt.G/KPPU/2017/PN.Jkt.Ut.
Yamaha dan Honda menyampaikan keberatan putusan KPPU yang mencakup aspek formal dan informal, seperti terkait dengan pertemuan kedua pucuk pimpinan PT YIMM dan PT AHM dalam permainan golf yang disebut sebagai perjanjian kartel.
Selain itu, terkait dengan asas praduga tak bersalah yang tidak dilakukan oleh KPPU dengan menyebut kedua produsen kendaraan roda dua.
PT YIMM menganggap KPPU juga melanggar sendiri due process of law, dalam memutus perkara dugaan persekongkolan penetapan harga jual motor skuter matik 110 cc—125 cc.
Asep memberikan contoh, KPPU mendasarkan keterangan pada saksi yang tidak disumpah dan dihadirkan ke persidangan.
Hanya saja, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menganggap keberadaan berita acara atas keterangan Yutaka Herada, yang saat itu menjabat sebagai Marketing Direktur PT YIMM, menjadi bukti dokumen, kendati Yutaka tidak bersedia disumpah sebagai saksi karena sudah memberikan keterangan dalam penyelidikan komisi.