Bisnis.com, JAKARTA--Inilah panggung politik yang ditakuti kubu Amerika Serikat dan Uni Soviet saat itu. Konferensi Asia Afrika (KAA) yang digelar di Bandung pada 18-24 April 1955.
Tahun ini KAA genap berusia 64 tahun. Ia adalah saksi dan sekaligus pelaku sejarah atas dinamika politik dunia saat itu yang dikenal dengan istilah Perang Dingin, sebuah rivalitas dua blok yang saling berhadapan, Blok Barat dan Blok Timur pasca Perang Dunia II, diwakili dua raksasa ideologi, AS dan Soviet (kini Rusia).
Sebagaimana sejarah mencatat, Indonesia adalah motor penggerak diadakannya konferensi tersebut dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Indonesia tampil gagah dengan politik luar negeri yang high profile sebagai respon terhadap konflik global yang berkecamuk saat itu di sejumlah wilayah dunia.
Jakarta garang dalam menggalang semacam kekuatan baru di kalangan negara-negara yang baru lepas dari cengkeraman penjajahan usai Perang Dunia II. Pasalnya, kolonialisme masih tetap kuat hingga era Perang Dingin tersebut.
Kondisi ini yang akhirnya berujung pada sebuah movement alternatif, sebuah kesadaran kolektif, sebuah solidaritas baru yang diwujudkan melalui KAA.
Kekuatan Baru
Sebagai tuan rumah, Presiden Indonesia mengucapkan pidato pembukaan yang berjudul Let a New Asia And a New Africa be Born.
“Saya berharap konferensi ini akan menegaskan kenyataan, bahwa kita, pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika, mengerti bahwa Asia dan Afrika hanya dapat menjadi sejahtera, apabila mereka bersatu, dan bahkan keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia Afrika tidak akan terjamin,” ujar Soekarno, Sang Orator Ulung, seperti tertulis dalam sejarah KAA yang tersimpan di asianafricamuseum.org.
KAA akhirnya menelurkan sebuah deklarasi bernama Dasasila Bandung yang intinya berisi prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia.
Keberanian 29 pemimpin negara peserta yang hadir di Bandung patut diacungi jempol. Mereka tak gentar dengan kekuatan Blok Barat dan Blok Timur yang saling berebut pengaruh dan hegemoni.
Bahkan pengaruh ini begitu terasa hingga ‘diperebutkan’ sampai jantung penyelenggaraan sekalipun. Menarik dicermati bagaimana Washington melihat manuver Soekarno dan kawan-kawannya di Asia-Afrika sejak awal 1950-an.
Dari ulasan Tim Weiner dalam bukunya Legacy of Ashes, The History of CIA, terungkap bahwa dinas rahasia AS (CIA) pertama kali menunjukkan kekhawatiran terhadap Indonesia setelah munculnya laporan yang disampaikan Dewan Keamanan Nasional pada 9 September 1953.
CIA memandang Indonesia mulai dekat dengan komunis. Namun Presiden Richard Nixon meragukan laporan tersebut. Bahkan setelah bertemu dengan Presiden Soekarno, Nixon berpendapat sebaliknya.
“Pemimpin Indonesia itu mendapat dukungan luar biasa dari rakyatnya. Sama sekali nonkomunis, dan tidak ada keraguan bahwa dia adalah kartu utama Amerika Serikat.”
Terlepas dari itu, CIA terus bergerak untuk melemahkan posisi Soekarno, termasuk, seperti yang ditulis Weiner, melalui pemilu pertama yang digelar Indonesia pada 1955. Namun upaya tersebut terbukti gagal.
Khusus untuk KAA di Bandung, AS juga bergerilya sampai ke jantung penyelenggaraan, Gedung Merdeka. Pasalnya, Washington berpendapat bahwa negara-negara peserta KAA sangat dekat dengan pihak komunis.
Bagaimana strategi AS memanfaatkan momentum KAA untuk menyerang lawannya (Soviet) diulas secara menarik oleh Ian Johnson dalam bukunya Sebuah Masjid di Munich. Konspirasi Nazi, CIA, dan Ikhwanul Muslimin (A Mosque in Munich).
'Operasi Bandung'
Di era Perang Dingin, salah satu ‘senjata’ AS untuk memukul Soviet adalah mengusung isu penekanan terhadap warga muslim yang saat itu jumlahnya diperkirakan sudah mencapai 30 juta jiwa.
Meminjam istilah Johnson, Bandung pada 1955 menjadi simbol bagi peran sentral Dunia Ketiga. Dunia Ketiga yang kemudian pada 1961 membuat lompatan yang lebih jauh dengan membentuk Gerakan Non Blok.
Inilah kelompok negara yang mengklaim tidak ingin masuk ke dalam kubu Uni Soviet maupun AS, terlepas dari beragamnya kepentingan nasional para negara pencetusnya dalam mengarungi politik global.
Untuk itu, sebelum KAA digelar, Dewan Keamanan Nasional sudah bergerak. Pada Januari 1955, Operation Coordinating Board (OCB) merancang kelompok kerja di Bandung, yang terdiri atas CIA, Dinas Informasi AS, Departemen Luar Negeri, dan sejumlah lembaga lainnya.
Tujuannya, demikian Johnson, adalah “untuk menempatkan negara-negara yang merepresentasikan Blok Komunis dalam konferensi tersebut secara psikologis berada dalam posisi bertahan”.
OCB mengeluarkan laporan bahwa KAA, dengan keikutsertaan China yang saat itu merupakan sekutu dekat Soviet, mengandung ‘kelucuan’ tetapi tetap perlu diwaspadai.
AS tak mau buang waktu. Menggebuk Soviet lewat isu penekanan terhadap Islam (warga muslim). Untuk itu, sampai perlu dikirim ‘tenaga khusus’ yang berperan sebagai jurnalis peliput KAA yang mewakili sebuah media AS. Orang ini adalah warga muslim Soviet dari wilayah Asia Tengah tapi telah lama meninggalkan tanah leluhurnya akibat tekanan Moskwa.
Namun manuver dan propaganda AS di Bandung ini tercium oleh Soviet yang langsung melakukan langkah pembalasan melalui pemberitaan di surat kabar Trud.
Dasasila Bandung dianggap sepi oleh AS. Bahkan Menteri Luar Negeri John Foster Dulles justru beranggapan bahwa berbagai usaha yang dilakukan Washington terbayar lunas, dan situasi telah berbalik. Bandung tidak dikuasai pihak komunis.
Era Perang Dingin sudah berlalu. Dunia, termasuk Indonesia tentunya, ingin menatap tatanan global yang lebih baik dan beradab. Jauh dari amarah dan amukan perang serta konflik, apalagi yang melibatkan negara-negara besar seperti yang terjadi dewasa ini.
Tapi apakah Dasasila tersebut masih mujarab untuk menjawab berbagai tantangan politik dan ekonomi global saat ini?
Bisa jadi, roh, spirit, dan fondasinya yang dilahirkan 64 tahun silam tetap relevan tetapi tampaknya memerlukan revitalisasi besar-besaran bila tetap ingin digerakkan.