Bisnis.com, JAKARTA - Isu deindustrialisasi dilontarkan oleh Calon Presiden Nomor 02 Prabowo Subianto. Mantan Komandan Jenderal (Danjen) Komando Pasukan Khusus menyebut bahwa Indonesia nyaris tidak memproduksi apa-apa.
"Bangsa kita tidak memproduksi apa-apa, kita hanya menerima barang dari luar." kata Prabowo dalam debat pamungkas, Sabtu (13/4/2019).
Pertanyaannya, apakah benar terjadi deindustrialisasi?
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dengan PDB 2018 sebesar 5,17 persen, sektor manufaktur hanya mampu berkontribusi sebesar 19,86 persen terhadap PDB 2018. Angka ini tercatat menurun dibandingkan 2017, dimana sektor ini masih bertahan di level 20,16 persen terhadap PDB.
Kinerja sektor itu juga makin jomplang apabila dibandingkan tahun 2014 yang mencapai 21,02 persen. Tak heran, angka-angka itu mengonfirmasi bahwa kontribusi manufaktur ke PDB secara konsisten terus menyusut selama empat tahun terakhir.
Namun demikian, yang perlu dilihat, menurunnya kinerja manufaktur tak hanya terjadi pada empat tahun belakangan. Gelagat penurunan kinerja sektor ini sudah dapat dilihat sejak tahun 2003. Waktu itu, porsi manufaktur terhadap PDB masih cukup besar yakni di angka 28,84 persen.
Seiring bergulirnya waktu, kontribusi manufaktur ke PDB terus tergerus. Tahun 2004 misalnya, kontribusi manufaktur turun menjadi 28,34 persen. Pun demikian, saat terjadi resesi global tahun 2008, meski bisa bertahan di angka 27,9 persen atau meningkat dibandingkan tahun 2007 yang di angka 27 persen dan pertumbuhan ekonomi juga bisa di atas 6 persen.
Tetapi sulit untuk dipungkiri, kinerja ekonomi waktu itu ditopang oleh periode booming komoditas, setelah periode itu berlalu kinerja manufaktur terus menunjukan penurunan, hingga tersisa 19,86 persen pada 2018.
Porsi manufaktur yang terus tergerus tentu jadi alarm bagi perekonomian. Pasalnya sektor ini di dalam struktur PDB menurut lapangan usaha, merupakan penopang utama pertumbuhan ekonomi. Semakin buruk kinerja manufaktur, perekonomian ikut terpuruk.