Pada sebuah wawancara khusus tentang prospek perekonomian 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menantang agar media menghitung konsekuensi fiskal dari setiap janji calon presiden. Ini penting agar publik cepat mengetahui kualitas sebuah janji politik apakah cukup realistis atau hanya manis di bibir.
Menurut Menkeu, setiap janji harus diuji agar ketika sudah berkuasa, presiden terpilih bisa mewujudkannya dengan anggaran yang ada. Publik yang kritis, semestinya juga tahu mana janji surga dan mana janji nyata.
Saya jadi ingat janji calon presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla pada masa kampanye 2014, ekonomi akan tumbuh 7% bila mereka terpilih. Hampir lima tahun keduanya berkuasa, pertumbuhan ekonomi Indonesia belum beranjak dari 5%.
Tentu ada alasan yang bisa dirasionalkan untuk setiap terjadinya bias janji. Seperti kata Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Politik Indonesia, buatlah sebuah narasi mengapa sebuah janji tidak selalu bisa ditepati, termasuk pertumbuhan ekonomi 7% ini.
Ceritanya di sebuah desa di pedalaman Sumatra Barat, seorang ayah berjanji akan membiayai sekolah SMA ke kota bagi Buyung, anaknya. Buyung mampu menunjukkan kemampuannya dengan hasil belajar gemilang, tetapi sang ayah tak sanggup menyediakan biaya yang dijanjikan.
Buyung marah, menganggap sang ayah pembohong. Dia terpaksa tetap sekolah di desa, agar biaya terjangkau. Sampai suatu sore dia menyaksikan ayahnya bersimbah keringat dari ladang membawa hasil panen tak seberapa.
Buyung mengerti, ayahnya bukan tidak berusaha keras. Namun, usaha keras ternyata tak selamanya menciptakan hasil sesuai yang diinginkan. Pesan morah cerita Buyung ini, kata Burhanuddin, bisa menjadi narasi mengapa pertumbuhan ekonomi tak tembus 7%. Usaha keras sudah, tetapi hasil bicara lain lain.
Namun, pelajaran pentingnya, jangan pernah menjanjikan angka pasti untuk sebuah janji politik kecuali yakin 100% bisa merealisasikan. Seperti janji calon presiden Prabowo-Sandi, soal dana desa, setiap desa akan menerima Rp1 miliar jika pasangan ini terpilih. Ini akan mudah terwujud karena memang sejumlah itulah pagu dana desa setiap tahunya.
Janji politik, betapapun sebuah survei Voxpol Center menyebut 70,4% pemilih pemilu tidak tertarik janji politik yang disuarakan capres-cawapres, tetaplah penting untuk diwujudkan. Bahkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, rela menjadi bulan-bulanan publik demi mewujudkan janji kampanye membangun tembok di sepanjang perbatasan Meksiko guna membendung imigran gelap.
Amerika Serikat harus mengalami government shut down terlama sepanjang sejarah karena upaya Trump mendapatkan persetujuan parlemen menemui jalan buntu. Trump harus menanggung malu karena mimpinya membangun tembok perbatasan bernilai ratusan triliun rupiah tersebut ditentang keras oleh publik AS.
Janji politik seorang calon presiden mestinya lebih besar kans terwujud daripada tidak. Levelnya saja presiden, sosok yang mendapatkan kekuasaan tertinggi pada sebuah negeri. Janji itu sepadan dengan idu geni --ludah api—yang dalam ungkapan Jawa adalah sosok orang yang omongannya banyak menjadi kenyataan.
Ludah api calon presiden juga tak semata mata karena sosoknya, tetapi karena seorang presiden memiliki otoritas besar dalam mengelola APBN. Di tangan seorang presiden yang visioner, anggaran bisa digunakan untuk hal-hal penting dan prioritas semisalnya membangun bendungan, jalan, pelabuhan, bandar udara ataupun subsidi rakyat miskin.
Di tangan presiden yang kreatif, juga menteri-meterinya, maka penggunaan anggaran bisa didesain sefektif dan seefisien mungkin. Belanja bisa dipangkas, atau program-program baru diciptakan untuk mempercepat gerak perekonomian.
Namun, jangan lupa sekuat apapun kuasa di tangan presiden, dia harus tetap berjalan pada koridor konstitusi, bahkan besaran ABPN pun sebagian sudah diketok dalam konstitusi, jauh sebelum presiden terpilih. Seperti anggaran pendidikan 20%, kesehatan 5%, dan dana perimbangan daerah sudah tidak bisa diutak-utik lagi.
***
Saya telah mencoba menelusuri berbagai janji baik calon presiden Jokowi maupun Prabowo dalam 7 bulan masa kampanye. Untuk memudahkannya, saya membatasi pada janji yang disampaikan saat debat calon presiden.
Pada debat pertama capres cawapres, pasangan Jokowi-Ma’ruf mengumbar 9 janji, sementara lawannnya Probowo-Sandi 13 janji. Di Debat kedua, Prabowo membawa 8 janji. Dari semua janji itu, hanya janji Prabowo meningkatkan tax ratio menjadi 16% yang bisa dihitung secara lebih rinci.
Pada debat tersebut, Prabowo secara tegas menyebut, "Saya akan tingkatkan tax ratio yang sekarang berada di 10% bahkan lebih rendah, kita kembalikan ke minimal 16% tax ratio berarti kita akan dapat mungkin minimal US$60 miliar lebih," ujar Prabowo.
Meskipun tidak secara tepat menyebut rasio pajak terhadap produk domestik bruto saat ini tercatat 11,5%, tetapi pesan Probowo bisa ditangkap; jika terpilih jadi presiden maka pungutan pajak akan makin diintensifkan dalam menambah pendapatan negara.
Dengan, pendapatan negara yang membesar dari pajak, maka ruang fiskal menjadi lebih terbuka. Prabowo jadi punya kesempatan untuk menambah pos belanja lain seperti sektor pertahanan yang dinilainya kecil sehingga pertahanan Indonesia rapuh.
Nah, menambah rasio pajak berarti petugas makin gencar mengejar para wajib pajak itu adalah konsekuensi logis. Pemilih bisa menilai dan tentu merasakan, tetapi pada dasarnya setiap warga negara menghindari bayar pajak.
Satu-satunya janji kampanye Jokowi yang mudah diukur konsekeunsi fiskalnya adalah tiga kartu sakti dirilis jika terpilih. Pertama, Kartu Sembako Murah, Kartu Indonesia Pintar Kuliah, dan Kartu Prakerja. Jenis kartu ketiga adalah yang paling baru, karena akan memberikan semacam tunjangan kepada pengangguran.
Karena ini proyek populis, hampir dipastikan akan menyerap anggaran menyerupai subsidi karena selain memberikan pelatihan keterampilan gratis, juga memberikan insentif uang bagi paa pemegangnya. Namun menghitung berapa besar biaya yang diperlukan untuk tiga kartu sakti itu bukan langkah mudah.
Data-data resmi pemerintah menunjukkan, pada APBN 2019 anggaran bantuan sosial ditetapkan sebesar Rp103,24 triliun. Anggaran yang ditetapkan pemerintah tersebut naik 74,84% dari anggaran tahun lalu sebesar Rp77,26 triliun.
Anggaran bantuan sosial rencananya akan dipergunakan untuk pelaksanaan program prioritas seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Sosial Rastra/Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Bila melihat karakternya, Kartu Sembako Murah akan bersumber dari pos anggaran ini.
Janji politik memang harus diumbar untuk membius para pemilih. Apalagi kita memiliki masa kampanye super lama, sehingga berjuta kata dalam orasi harus disiapkan, rayuan dalam baliho dibuat, dan tim sukses mengetuk satu persatu pintu pemilik suara.
Namun, janji politik selayaknya tetap membumi, bisa diwujudkan agar tak jadi bumerang di kemudian hari. Terlalu banyak janji tanpa realisasi, hanya akan menjadi beban untuk kontestasi berikutnya, menjadi sasaran tembak, dan itu tak enak.
Janji itu memang seperti mimpi, tergantung tinggi. Semakin melangit semakin jauh kemungkinan untuk bisa ditepati. Tetapi percayalah setiap janji bisa dikalkulasi berapa biaya juga cara mencapainya.
Bila itu kemudian menggunakan APBN, sebaiknya berhitung dengan rigid, agar kelak tidak menjadi tambahan pasak untuk sebuah tiang yang memang tak seberapa. Bagaimanapun janji kampanye calon presiden adalah ludah api. Mewujudkannya, adalah keniscayaan.