Bisnis.com, JAKARTA — Lesunya kontribusi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia wajib dibahas oleh kedua pasangan calon nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf maupun calon nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga dalam Debat Pilpres V.
Seperti diketahui, Debat Pilpres V akan mengusung tema Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial, Keuangan dan Investasi, serta Perdagangan dan Industri. Debat putaran kelima akan berlangsung Sabtu (13/4/2019).
Hal ini disampaikan Ekonom Universitas Indonesia (UI) yang sekaligus Direktur Program INDEF Berly Martawardaya dalam diskusi bertajuk 'Strategi Jitu Indonesia Keluar dari Middle Income Trap' yang digelar Sekretariat PB HMI, Rabu (10/4/2019).
"Jadi masalah utama apa, Asia Timur, sejarah motor pembangunannya adalah industri. Mulai dari Jepang, Korea, Taiwan, Thailand, dan Malaysia," jelas Berly.
Sebab itulah Berly menjelaskan pertumbuhan industri manufaktur Indonesia yang stagnan yaitu 4,64 persen pada 2014; 4,33 persen pada 2015; 4,26 persen pada 2016; 4,29 persen pada 2017; terakhir 4,27 persen pada 2018, merupakan salah satu masalah yang perlu diperhatikan. Mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berkisar di angka lima koma, ujarnya.
Berly mengutip data laporan Bank Dunia, kontribusi manufaktur yang masih menjadi tulang punggung Indonesia dengan persentase 19,86 persen terhadap PDB, ternyata bukan apa-apa bila dibandingkan negara tetangga, yakni Malaysia dan Thailand.
Padahal Indonesia pernah menjadi jawara pada 2001 dengan kontribusi industri manufaktur terhadap PDB di angka 30,8 persen untuk Indonesia, 29,3 persen Malaysia, 28 persen Thailand. Serta tahun 2002 dengan persentase 32 persen untuk Indonesia, 29,2 persen Malaysia, dan 28,7 persen Thailand.
Tetapi sejak 2010, keadaan berbalik. Hingga kini, Thailand mulai menjadi jawara, disusul Malaysia, sedangkan Indonesia berada di peringkat ketiga dengan kontribusi industri manufaktur dengan tren terus menurun di angka 20-an persen, hampir disusul Filipina dan Vietnam yang memiliki tren naik.
"Jadi di Thailand masih 30-an persen walaupun ada kudeta [pemimpin] tiga kali pun, politiknya gonjang-ganjing, dan baru saja kemarin pemilu demokrasi, tapi industrinya masih kuat," jelas Berly.
Berly berpendapat industri manufaktur masih harus dikembangkan di Indonesia, sebab tingkat pendidikan Indonesia masih rendah. Alhasil, 'pabrik' masih menjadi jalan keluar daripada memaksakan industri jasa tetapi sumber daya manusia masih belum memadai.
Oleh sebab itu, Berly berharap kedua paslon memiliki komitmen untuk meningkatkan competitiveness Indonesia untuk bersaing dengan negara tetangga dalam pengembangan industri manufaktur.
Terlebih, mengenai dua hal terkait lainnya, yaitu membuka ekonomi Indonesia yang masih relatif tertutup, meningkatkan orientasi ekspor yang masih rendah, dengan barang yang diekspor juga bukan barang high technology.
Berly mencontohkan Tanah Air kalah bersaing dari Thailand yang menjadi primadona industri pabrikan mobil di Asean. Sedangkan pabrikan ponsel raksasa dunia, lebih melirik membangun pabriknya di Vietnam daripada di Indonesia.