Bisnis.com, JAKARTA – Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuliskan pendapat tentang kondisi politik Tanah Air akhir-akhir ini. Meski surat tersebut sedianya ditujukan ke internal Demokrat, partai yang dinakhodainya, tetapi salinannya tersebar ke jejaring sosial.
Berikut surat tersebut yang bila direnungkan ada kebenaran dalam pesannya.
Kepada yang terhormat
1. Ketua Wanhor PD Amir Syamsudin
2. Waketum PD Syarief Hassan
3. Sekjen PD Hinca Panjaitan
Bismilahirrahmanirrahim
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Salam Sejahtera
Salam Demokrat!
Sebenarnya saya tidak ingin mengganggu konsentrasi perjuangan politik jajaran Partai Demokrat di tanah air, utamanya tugas kampanye pemilu yang tengah dilakukan saat ini, karena terhitung mulai tanggal 1 Maret 2019 yang lalu saya sudah memandatkan dan menugaskan Kogasma dan para pimpinan partai untuk mengemban tugas penting tersebut.
Sungguhpun demikian, saya tentu memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan agar kampanye yang dijalankan oleh Partai Demokrat tetap berada dalam arah dan jalur yang benar, serta berlandaskan jati diri, nilai dan prinsip yang dianut oleh Partai Demokrat. Juga tidak menabrak akal sehat dan rasionalitas yang menjadi kekuatan partai kita.
Sore hari ini, Sabtu, tanggal 6 April 2019 saya menerima berita dari tanah air tentang set up, run down dan tampilan fisik kampanye akbar atau rapat umum pasangan capres-cawapres 02, Bapak Prabowo Subianto-Bapak Sandiaga Uno, di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta.
Karena menurut saya apa yang akan dilakukan dalam kampanye akbar di GBK tersebut tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif, melalui sejumlah unsur pimpinan Partai Demokrat saya meminta konfirmasi apakah berita yang saya dengar itu benar.
Malam hari ini, saya mendapat kepastian bahwa informasi yang didapat dari pihak lingkaran dalam Bapak Prabowo, berita yang saya dengar itu mengandungi kebenaran.
Sehubungan dengan itu, saya minta kepada Bapak bertiga agar dapat memberikan saran kepada Bapak Prabowo Subianto, Capres yang diusung Partai Demokrat, untuk memastikan hal-hal sebagai berikut:
Penyelenggaraan kampanye nasional (di mana Partai Demokrat menjadi bagian di dalamnya) tetap dan senantiasa mencerminkan inclusiveness, dengan sasanti "Indonesia Untuk Semua", juga mencerminkan kebhinekaan atau kemajemukan. Juga mencerminkan persatuan. Unity in diversity.
Cegah demonstrasi apalagi show of force identitas, baik yang berbasiskan agama, etnis serta kedaerahan, maupun yang bernuansa ideologi, paham dan polarisasi politik yang ekstrim.
Pemilihan Presiden yang segera akan dilakukan ini adalah untuk memilih pemimpin bangsa, pemimpin rakyat, pemimpin kita semua. Karenanya, sejak awal set up-nya harus benar. Mindset kita haruslah tetap "Semua Untuk Semua" , atau "All For All".
Calon pemimpin yang cara berpikir dan tekadnya adalah untuk menjadi pemimpin bagi semua, kalau terpilih kelak akan menjadi pemimpin yang kokoh dan insya Allah akan berhasil. Sebaliknya, pemimpin yang mengedepankan identitas atau gemar menghadapkan identitas yang satu dengan yang lain, atau yang menarik garis tebal "kawan dan lawan" untuk rakyatnya sendiri, hampir pasti akan menjadi pemimpin yang rapuh. Bahkan sejak awal sebenarnya dia tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin bangsa.
Saya sangat yakin, paling tidak berharap, tidak ada pemikiran seperti itu (sekecil apapun) pada diri Pak Jokowi dan Pak Prabowo.
Saya pribadi, yang mantan Capres dan mantan Presiden, terus terang tidak suka jika rakyat Indonesia harus dibelah sebagai "pro Pancasila" dan "pro Kilafah". Kalau dalam kampanye ini dibangun polarisasi seperti itu, saya justeru khawatir jika bangsa kita nantinya benar-benar terbelah dalam dua kubu yang akan berhadapan dan bermusuhan selamanya.
Kita harus belajar dari pengalaman sejarah di seluruh dunia, betapa banyak bangsa dan negara yang mengalami nasib tragis (retak, pecah dan bubar) selamanya. The tragedy of devided nation. Saya pikir masih banyak narasi kampanye yang cerdas dan mendidik.
Seperti yang kita lakukan dulu pada pilpres tahun 2004, 2009 dan 2014. Bangsa kita sangat majemuk. Kemajemukan itu di satu sisi berkah, tetapi di sisi lain musibah. Jangan bermain api, terbakar nanti.
Para kader pasti sangat ingat, Partai Demokrat adalah partai Nasionalis-Relijius. Bagi kita Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika adalah harga mati.
Tidak boleh NKRI menjadi Negara Agama ataupun Negara Komunis. Indonesia adalah "Negara Pancasila" dan juga "Negara Berke-Tuhanan". Inilah yang harus diperjuangkan oleh Partai Demokrat, selamanya.
Saya berpendapat bahwa juga tidak tepat kalau Pak Prabowo diidentikkan dengan kilafah. Sama tidak tepatnya jika kalangan Islam tertentu juga dicap sebagai kilafah ataupun radikal.
Demikian sebaliknya, mencap Pak Jokowi sebagai komunis juga narasi yang gegabah. Politik begini bisa menyesatkan. Sejak awal harusnya narasi seperti ini tidak dipilih. Tetapi sudah terlambat. Kalau mau, masih ada waktu untuk menghentikannya.
Dari pada rakyat dibakar sikap dan emosinya untuk saling membenci dan memusuhi saudara-saudaranya yang berbeda dalam pilihan politik, apalagi secara ekstrim, lebih baik diberi tahu, apa yang akan dilakukan Pak Jokowi atau Pak Prabowo jika mendapat amanah untuk memimpin Indonesia 5 tahun mendatang (2019-2024).
Apa solusinya, apa kebijakannya? Tinggalkan dan bebaskan negeri ini dari benturan identitas dan ideologi yang kelewat keras dan juga membahayakan. Gantilah dengan platform, visi, misi dan solusi. Tentu dengan bahasa yang mudah dimengerti rakyat. Sepanjang masa kampanye, bukan hanya pada saat debat saja.
Demikian Pak Amir, Pak Syarief dan Pak Hinca, pesan dan harapan saya. Ketika saya menulis pesan ini, saya tahu AHY berada dalam penerbangan dari Singapura ke Jakarta, setelah menjenguk Ibu Ani yang masih dirawat di NUH.
Partai Demokrat harus tetap menjadi bagian dari solusi dan bukan masalah. Selamat berjuang, Tuhan beserta kita.
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Singapura, 6 April 2019
Prof. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono