Bisnis.com, JAKARTA - Slamet Jumiarto (42) dan keluarga akhirnya diperbolehkan tinggal di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, setelah sebelumnya sempat ditolak oleh perangkat Rukun Tetangga dan warga dusun karena yang bersangkutan beragama Katolik.
Aturan yang memuat eksklusi sosial atas nonmuslim dari dusun tersebut, yaitu Surat Keputusan Nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 tentang Persyaratan Pendatang Baru di Dusun Karet, pun akhirnya dicabut.
Direktur Setara Institute, Halili mengatakan, sebenarnya secara substantif SK tersebut harus batal demi hukum, karena muatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sesuai dengan asas hukum lex superior derogat legi inferiori. Hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah.
Atas terulangnya kembali kasus diskriminasi yang melibatkan agama tersebut, Halili mendorong pemerintah untuk melakukan upaya menghentikan eksklusi atas minoritas dengan melakukan tindakan yang progresif untuk mengatasi regulasi lokal yang diskriminatif.
"Aturan yang diskriminatif di tingkat lokal bukanlah fenomena tunggal di Pleret. Begitu banyak kebijakan negara yang diskriminatif mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga tingkat RT," kata Halili dalam keterangan tertulisnya, Rabu (3/4/2019).
Ketentuan-ketentuan demikian, lanjut Halili, nyata-nyata mendorong eksklusi sosial, melegalisasi intoleransi, melanggar hak dan mengakibatkan luka moral atas minoritas, khususnya minoritas keagamaan.
Selanjutnya, belajar dari kasus Pleret Bantul, menurut Halili, pemerintah juga harus memberikan perhatian terhadap pemukiman-pemukiman eksklusif yang menciptakan segregasi sosial berdasarkan agama seperti di Dusun Karet.
Dia menjelaskan, dalam perkembangan kontemporer, banyak sekali pemukinan yang eksklusif dalam bentuk perumahan-perumahan berdasarkan agama tertentu. Di dalam iklim kemerdekaan, perumahan eksklusif berdasarkan agama tertentu merupakan kemunduran peradaban yang memuat kontra narasi atas kemajemukan. Fenomena ini akan menutup ruang perjumpaan antar identitas yang berbeda dan menebalkan kekhawatiran, kecurigaan, ketakutan dan keterancaman dalam melihat identitas yang berbeda.
"Pemerintah harus segera mengikis terjadinya segregasi sosial semacam itu dengan menolak perizinan perumahan yang eksklusif berdasarkan identitas agama sebab berpotensi merusak kebinekaan Indonesia," kata Halili.