Bisnis.com, JAKARTA -- Menjelang pesta politik akbar bulan depan, pemerintah telah memetakan sejumlah ancaman dan titik rawan konflik.
Dalam Rapat Koordinasi Nasional Bidang Kewaspadaan Nasional Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemilu 2019, Rabu (27/3/2019), disampaikan bahwa ancaman serangan dalam Pemilu 2019 berasal dari dunia nyata dan maya. Penyebaran hoaks yang masif, adu domba oleh sekelompok orang, hingga potensi serangan siber terhadap sistem yang dimiliki penyelenggara Pemilu menjadi beberapa ancaman yang terungkap.
Selain itu, ada pula ancaman terjadinya konflik saat tahap penghitungan dan rekapitulasi suara dilakukan. Potensi konflik muncul karena tahapan tersebut diprediksi memakan waktu lama dalam Pemilu serentak kali ini.
Menurut Kepala Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN) Djoko Setiadi, ada tiga ancaman serangan siber yang bisa terjadi saat Pemilu 2019. Ketiga ancaman serangan itu adalah hack, leak, dan amplify.
Dia menjelaskan pada serangan hack alias peretasan, gangguan umumnya terjadi pada infrastruktur yang digunakan dalam Pemilu. Hack bisa dilakukan dengan berbagai cara untuk melumpuhkan infrastruktur daring Pemilu seperti situs milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau aplikasi Sistem Perhitungan (Situng).
Baca Juga
Ilustrasi kejahatan siber./Reuters-Kacper Pempel
“[Serangan bisa terjadi] Seperti dengan melakukan deface, DDOS [Distributed Denial of Service], phising, atau membuat situs palsu untuk menipu target, dan metode hacking lainnya,” ujar Djoko.
Selain peretasan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab, serangan siber lain yang mungkin terjadi adalah leak. Pada serangan leak, peretas menjadikan peserta Pemilu atau kampanye sebagai sasaran tembak.
Mereka akan mencuri data-data peserta Pemilu atau kampanye untuk dimanfaatkan pihak-pihak tertentu. Setelah itu, data yang dicuri disebarluaskan atau dikenal dengan sebutan amplify.
Penyebaran data-data pribadi itu berpotensi mengganggu citra objek. Kampanye hitam biasa dilakukan dengan metode ini.
“Jika dilihat dari insiden terbaru, teknik amplify sudah mulai digunakan sehingga kita perlu mewaspadai penggunaan kedua teknik tersebut. Jika ketiga ancaman tersebut terjadi secara masif, maka Pemilu 2019 akan sangat terganggu karena efek sosial yang ditimbulkan sangatlah besar, terutama terkait kepercayaan terhadap penyelenggara dan kontestan Pemilu,” terangnya.
BSSN memprediksi serangan siber akan terjadi pada tahap pemungutan dan perhitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pada kedua tahap itu, ada kemungkinan peretas melakukan hack DDOS yang mengakibatkan laman penyedia hasil Pemilu tak bisa diakses.
Kemudian, pada tahap penetapan hasil Pemilu, ada juga kemungkinan terjadi serangan siber dengan metode bottle neck, DDOS, defacement, dan database hacking.
Potensi Konflik
Konflik atau gangguan lain yang berpotensi muncul saat Pemilu bisa terjadi pada tahap penghitungan suara. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyebutkan tahap penghitungan dan rekapitulasi suara di Pemilu kali ini berpotensi mengundang kerawanan karena memakan waktu lama.
Lamanya waktu untuk menghitung dan merekapitulasi suara dikarenakan dalam Pemilu kali ini, pemilih akan dihadapkan dengan lima jenis surat suara berbeda. Kelima surat suara yang akan diberikan ke pemilih adalah lembaran untuk Pemilihan Presiden (Pilpres), pemilihan anggota DPRD Provinsi, pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan anggota DPR RI, dan pemilihan anggota DPD RI.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebut tahap rekapitulasi dan penghitungan suara sebagai titik rawan di Pemilu 2019, Jakarta, Rabu (27/3/2019)./Bisnis-Lalu Rahadian
“Kalau rata-rata tiap orang [waktu mencoblos dan menghitung suaranya] 10 menit, setiap TPS ada 300 orang, bisa sampai tengah malam [prosesnya]. Saya kira protap TNI, Polri, sampai KPU dan Bawaslu tingkat bawah sudah siap,” kata Tjahjo.
Penghitungan atas seluruh surat suara yang dicoblos harus dilakukan setelah waktu pemungutan suara selesai. Masa pemungutan suara pada Pemilu 2019 akan berlangsung sejak pukul 07.00 sampai 13.00 di setiap daerah.
Ancaman gangguan lain juga dipaparkan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Wiranto. Dia menyatakan praktik politik uang, terorisme, radikalisme, dan penyebaran hoaks berpotensi mengganggu jalannya Pemilu yang akan digelar pada 17 April 2019.
Wiranto yakin aparat keamanan sudah siap menjaga keberlangsungan Pemilu serentak nanti. Tetapi, semua pihak diimbau untuk tetap waspada agar tak ada gangguan masif yang terjadi pada hari pemungutan suara.
Dalam melakukan pengamanan Pemilu, dia menuturkan aparat memiliki cara penanganan yang berbeda-beda di tiap daerah. Perbedaan itu ditentukan oleh derajat kerawanan Pemilu di masing-masing daerah sesuai Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang sudah dipublikasikan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada 2018.
Menko Polhukam Wiranto (tengah) didampingi Panglima TNI Hadi Tjahjanto (kiri) dan Kapolri Tito Karnavian memimpin rapat koordinasi kesiapan pengamanan tahapan masa rapat umum (kampanye terbuka) tahapan penghitungan suara di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (20/3/2019)./ANTARA-Wahyu Putro A.
Berdasarkan indeks tersebut, sejumlah provinsi yang tingkat kerawanannya di atas rata-rata nasional adalah Papua Barat, Papua, Maluku Utara, Aceh, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku, Lampung, Sumatra Barat, Jambi, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah.
“Setiap provinsi memiliki karakteristik kerawanan yang berbeda. Papua Barat, Sumatra Barat, dan Maluku misalnya, memiliki kerawanan untuk dimensi penyelenggaraan Pemilu yang bebas dan adil serta terkait dimensi kontestasi,” tulis IKP 2019 yang dirilis Bawaslu.
Sorotan khusus juga diberikan Wiranto kepada penyebaran hoaks dan pengadu domba masyarakat menjelang hari pemungutan suara. Dia menegaskan pelaku hoaks dan pengadu domba harus ditindak.
Wiranto melanjutkan seharusnya tak perlu ada konflik akibat perbedaan pilihan di Pemilu karena kontestasi politik ini dianggap sebagai ajang memilih pemimpin terbaik, bukan tempat mengadu para calon dan pendukungnya.
“Saya terus menerus menyampaikan pesan kepada masyarakat, ayolah datang ke TPS, aman, aman. Aparat keamanan akan menjaga itu,” ucapnya.
Strategi KPU dan Bawaslu
Berbagai ancaman serangan dan potensi konflik tersebut sebenarnya sudah ditanggapi pula oleh KPU dan Bawaslu. Penyelenggara dan pengawas Pemilu mengaku telah memiliki sejumlah cara mengatasi konflik dan serangan yang mungkin terjadi.
Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan untuk mencegah serangan siber, pihaknya sudah meningkatkan kapasitas infrastruktur Teknologi Informasi (TI). Pihaknya juga telah bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta BSSN untuk memperkuat pengamanan siber.
"Secara teori, serangan itu kita tidak tahu kapan munculnya dan dari pintu mana. Hanya bisa dilakukan [pencegahan] adalah kita membuat SOP bagaimana penanganan jika terjadi dan bagaimana penanganan secara cepat. Kami sudah melakukan simulasi kalau serangan muncul penanganan secara cepat bagaimana,” terangnya.
Pramono menilai jika serangan siber terjadi, maka hal itu tak akan mengganggu proses rekapitulasi hasil Pemilu 2019. Alasannya, penghitungan suara Pemilu tahun ini resmi akan dilakukan secara manual.
Seorang pria melintasi papan hitung mundur elektronik Pemilu 2019 di kantor Bawaslu, Jakarta, Kamis (21/2/2019)./ANTARA-Akbar Nugroho Gumay
Sementara itu, anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin memandang pengamanan saat pemungutan suara pasti akan ketat karena setidaknya akan ada 19 pengawas di masing-masing TPS. Para pengawas tersebut berasal dari perwakilan partai politik (parpol), calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), serta pengawas dari Bawaslu.
“Saat ini, kami masih merekrut pengawas TPS yang jumlahnya kurang antara 50-70. Kami juga masih lakukan rekrutmen kepada jajaran kami di luar negeri, di setiap negara yang ada pemilih, lebih dari 5.000 [petugas] Bawaslu akan hadir,” ucapnya.
Bawaslu juga disebut akan melakukan patroli anti politik uang pada masa tenang Pemilu. Patroli dilakukan untuk menciptakan rasa ketakutan pada masyarakat untuk memberi atau menerima uang atas alasan pemilihan.
Afifuddin menambahkan hingga saat ini, ada 6.400 dugaan pelanggaran Pemilu yang ditemukan semua jajaran Bawaslu di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 400 di antaranya berasal dari laporan masyarakat.
Ada sekitar 400 kasus yang berstatus pidana dan 21 perkara sudah berkekuatan hukum tetap. Kemudian, delapan kasus terkait politik uang.
Terakhir, Bawaslu berjanji akan merilis daftar atau kriteria TPS rawan sebelum masa pemungutan suara Pemilu 2019. Daftar kriteria TPS rawan itu akan digunakan untuk memaksimalkan pengamanan proses pemungutan suara bersama Bawaslu dan aparat kepolisian.