Kabar24.com, JAKARTA — Almarhum K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah menceritakan asal mula pemakaian salam penutup lisan maupun tulisan khas jemaah Nahdlatul Ulama (NU), wallahul muaffiq illa aqwamith thoriq.
Menurut Bapak Pluralisme Indonesia itu, awalnya warga NU menggunakan salam wabillahi taufiq wal hidayah. Namun, kata Gus Dur, kalimat itu ‘dipinjam’ oleh Partai Golkar sehingga nahdliyin mencari pengganti agar tetap memiliki salam khas.
Akhirnya, K.H. Ahmad Abdul Hamid dari Kendal, Jawa Tengah, mengusulkan kalimat wallahul muaffiq illa aqwamith thoriq. Kini, gampang mengidentifikasi seorang warga NU jika menggunakan salam yang diakhiri dengan waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh tersebut.
Pelan-pelan, salam penutup itu menjadi populer di telinga umat Islam dan agama lain. Ketika debat Pilpres 2019 putaran ketiga, Minggu (17/3/2019) malam, Calon Wakil Presiden nomor urut 02 Sandiaga Salahuddin Uno mengucapkan wallahul muaffiq illa aqwamith thoriq sebelum menutup kata-kata terakhirnya. Padahal, selama ini Sandi bukan dikenal sebagai warga NU.
Dari segi latar belakang pendidikan, Sandi menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya di sekolah umum swasta milik yayasan Protestan dan Katolik. Agustus 2018, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman memang pernah menyematkan label ‘santri post-Islamisme’ kepada Sandi.
Akan tetapi, istilah itu jelas tidak sama dengan definisi santri ‘tradisional’ ala NU yakni seseorang yang betul-betul pernah mondok di pesantren.
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Teguh Dartanto merupakan penonton debat yang mencermati kalimat-kalimat Sandi, termasuk pada bagian salam penutup. Menurutnya, tak disangsikan lagi, bekas Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut ingin mengambil simpati pemilih NU.
Apalagi, sang lawan debat Ma’ruf Amin notabene nahdliyin tulen dan bekas Rais Am Pengurus Besar NU. Untuk menunjukkan ke-NU-annya, Ma’ruf cukup dikenali dengan peci dan sarung. “Tapi tidak menggunakan closing seperti Sandi,” ujar Teguh dalam acara diskusi di Jakarta, Senin (18/3/2019).
Upaya mendekatkan diri dengan NU dalam debat juga dilakukan Sandi kala melontarkan janji liburan sekolah saat bulan puasa. Dia mengaku terinspirasi dengan kebijakan di masa pemerintahan Presiden Gus Dur.
“Memberikan liburan di bulan Ramadan sebagai meneruskan program yang pernah dijalankan oleh Gus Dur.”
Daya tarik NU dalam politik memang telah menjadi bumbu tersendiri dalam sejarah Indonesia. Ketika masih berstatus partai politik, NU bertenger di papan atas pengumpul suara.
Merujuk data Komisi Pemilihan Umum, pada Pemilu 1955, NU meraup 6,95 juta suara atau 18,41% suara sah, nomor tiga di bawah Partai Nasional Indonesia dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Posisi NU naik satu setrip pada Pemilu 1971 dengan mengumpulkan 10,21 juta suara atau 18,68% suara sah.
Tatkala berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), NU adalah kontributor suara signifikan dalam Pemilu 1977 dan 1982. Suara PPP turun sesudahnya karena NU memutuskan kembali ke khittah pada 1984.
Dalam survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) terbaru pada 18-25 Februari 2019, sebanyak 49,5% pemilih beragama Islam Indonesia merasa diri terafilisasi dengan NU. Adapun, umat Islam mencakup 87,8% pengguna hak pilih di Tanah Air.
Gemuknya konstituen NU tentu menggiurkan kontestan Pilpres 2019. Menurut LSI, elektabilitas Joko Widodo-Ma’ruf di kalangan pemilih NU sebesar 64,1%, sedangkan tingkat keterpilihan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno 28,2%.
Dosen Program Komunikasi Vokasi UI Devie Rahmawati menilai wajar bila Sandi menggunakan salam penutup khas NU. Dalam komunikasi pemasaran politik, kata dia, seorang kandidat harus mengandalkan ‘5C’ yakni content, context, channel, confident, dan connection.
Menurut Devie, debat yang ditonton jutaan penduduk merupakan medium tepat untuk merengkuh 5C. Dengan mengucapkan salam penutup khas NU, Sandi berupaya mengail unsur ‘connection’ alias keterhubungan dirinya dengan pemilih religius.
Tak hanya Sandi, Ma’ruf pun mencoba menyambungkan dirinya dengan pemilih tertentu, terutama generasi milenial. Untuk itulah, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) nonaktif itu memilih istilah ten years challenge yang akrab di telinga anak muda.
Di satu sisi, tambah Devie, gimmick seperti itu dapat memikat segmen pemilih yang mereka sasar. Namun, di sisi lain, kandidat melupakan unsur 5C lain yaitu content. Kebutuhan masyarakat pun tidak terpenuhi lantaran tiada jawaban-jawaban substantif.
“Cara mereka mengemas sederhana sekali sayangnya. Dua-duanya mengutarakan yang sama,” ucapnya.
Hingga debat putaran ketiga ini ada saja nada ketidakpuasan atas performa dua kontestan. Masih tersisa dua debat lagi yang moga-moga dapat memberi masyarakat solusi lebih konkret dari calon pemimpinnya.