Bisnis.com, JAKARTA - Resesi Turki untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir memberikan pukulan keras terhadap Presiden Recep Tayyip Erdogan yang tengah mempersiapkan pemilihan kepala daerah bulan ini.
Data dari Institut Statistik Turki menunjukkan ekonomi Turki tumbuh 2,6% pada 2018 secara keseluruhan yang merupakan kinerja terlemah sejak 2009.
Didorong oleh upaya Erdogan untuk mendongkrak pertumbuhan dengan cara apapun serta desakannya terhaadap bank sentral untuk mempertahankan suku bunga rendah, modal mengalir ke Turki selama kebijakan moneter di seluruh dunia mengucurkan stimulus.
Tetapi, ekspansi yang terjadi hampir tanpa gangguan untuk mengangkat ekonomi pada rata-rata 7% setiap kuartal sejak akhir 2009, telah gagal diimplementasikan menyusul pelemahan lira, kebijakan yang salah langkah, serta keretakan diplomatik yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan Amerika Serikat.
"Ini adalah konsekuensi dari Erdonomics dan dampak langsung dari kebijakan moneter pada 2018 yang dilakukan demi kepentingan politik jangka pendek daripada pragmatisme ekonomi," kata Julian Rimmer, seorang trader di Investec Bank Plc, London, seperti dikutip melalui Bloomberg, Senin (11/3/2019).
Bagi investor, kekhawatirannya adalah Turki akan membutuhkan waktu lama untuk pemulihan ekonomi karena aliran modal asing menipis sementara nasabah komersial dan perusahaan mulai membayar utang sehingga likuiditas ikut menipis.
Baca Juga
Konsumsi swasta anjlok 8,9% secara tahunan pada kuartal terakhir tahun lalu dengan PDB per kapita Turki turun menjadi US$9,632 dari sedikit di atas US$10 pada 2017.
Meskipun mengalami penurunan, Menteri Keuangan Turki Berat Albayrak mengatakan, sisi baiknya yang terburuk sekarang sudah terlewati dan ekonomi berada di jalur untuk pemulihan yang cepat.
Peningkatan ekspor dan pendapatan pariwisata akan menjadi pendorong utama pertumbuhan, katanya di Twitter.
Lira turun sebanyak 0,5% setelah data ekonomi di rilis dan diperdagangkan 0,2% lebih lemah pada 5,4489 per dolar pada 10:32 di London.
Lira adalah mata uang terburuk ketiga di pasar negara berkembang tahun ini dengan kerugian sekitar 3% terhadap mata uang AS.