Bisnis.com, JAKARTA—Inggris memang sedang galau memandang masalah Brexit. Persoalan tampaknya kian pelik dan membuat pusing kepada sang perdana menteri.
Namun sekitar 8 tahun silam juga terjadi kegegeran politik di Inggris. Memang tidak seangker isu Brexit. Sebut saja ‘serius tapi lucu’.
Reshuffle gaya Inggris ini patut dicontoh, karena sasarannya adalah efisiensi. Bukan bagi-bagi kursi seperti kerap menjadi cemoohan di negeri ini.
Namun urusan reshuffle, di negara manapun, juga tidak sepi dari intrik dan isu politik. Tidak terkecuali di salah satu monarki tertua di Eropa tersebut. Bedanya, ‘perombakan kabinet’ ini tidak seperti biasanya yang kerap membuat konstelasi pemerintahan bisa goncang.
Berujung pada mosi tidak percaya rasanya juga terlalu jauh, karena pada prinsipnya posisi politik yang ditawarkan cukup strategis.
Apalagi belum pernah terdengar sebelumnya ada negara lain yang membuka jabatan politis seperti yang pernah ‘ditenderkan’ pemerintah Inggris tersebut.
Polemik ini mengemuka menyusul keputusan Downing Street 10 untuk menggaji pejabat baru yang khusus menangani Twitter. Tak ayal, hal ini langsung memancing pro dan kontra di jejaring sosial itu.
Menteri khusus bidang Twitter? Semua orang menganggapnya lelucon. Namun pemerintah jalan terus. Usut punya usut ternyata posisi baru itu bukan menteri atau sederajat melainkan seorang direktur bidang digital.
Gaji Pejabat
Persoalannya, gaji yang dia terima hampir sama dengan sang PM Inggris saat itu, David Cameron.
Selain itu yang bersangkutan bertugas di Kantor Kabinet dengan penghasilan setara Rp2 miliar per tahun. Sesuai rencana pemerintah Inggris, jabatan baru tersebut menggantikan tiga posisi yang ada saat itu dan berperan melakukan koordinasi strategi digital di negara asal klub Manchester United tersebut.
Di Indonesia, job desc seperti itu mirip-mirip menteri koordinator. Tidak tepat bila dikatakan setali tiga uang dengan tugas-tugas yang dilakukan menteri komunikasi dan informatika.
Menurut iklan yang dipasang di situs pegawai negeri sipil Inggris, calon yang berhasil direkrut diharapkan dapat ‘memperjuangkan’ kebutuhan masyarakat dalam menggunakan layanan pemerintah melalui saluran digital dan menjamin efisiensi anggaran layanan secara online.
Para pejabat Inggris membantah berita-berita media yang menjuluki jabatan itu sebagai ‘Kaisar Twitter’. Sebaliknya mereka mengatakan pejabat baru ini akan melakukan banyak tugas, bukan hanya sekadar mengurusi Twitter.
Namun jabatan yang tugasnya ‘memanfaatkan teknologi terbaik’ ini mengundang beragam komentar di Twitter yang menyinggung soal gaji dan siapa yang akan mendudukinya.
Birokrasi boleh saja menepis segala anggapan miring. Yang jelas pemerintah harus berterima kasih kepada Martha Lane Fox, pebisnis Internet, karena dialah yang pertama kali mengusulkan perlunya pejabat khusus yang menangani urusan digital negara.
Fox mengatakan pemerintah dapat menghemat miliaran poundsterling dengan membuat layanan yang berbasis online.
Pengusaha yang punya pengaruh besar itu berpendapat bahwa situs Internet pemerintah, Directgov harus menjadi satu tempat bagi semua transaksi layanan pemerintah, mulai dari mengklaim tunjangan sampai membayar pajak kendaraan.
Dia pun tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya terhadap pelayanan publik akibat minimnya fasilitas tunjangan yang berbasis online. Kemudian Fox membandingkan proses permohonan pinjaman untuk mahasiswa yang harus mencetak dan tandatangan dalam dokumen setebal 30 halaman dibandingkan dengan kepraktisan pemesanan tiket pesawat.
Sayang, sebelum ‘pejabat Twitter Inggris’ itu resmi muncul, media sudah tak gencar lagi menyorotinya.
Yang jelas, twitter tampaknya akan terus membuat fenomena. “Just setting up my twttr.” Begitu bunyi tweet pertama ‘Bapak twitter’ Jack Dorsey yang dengan cepat melegenda.