Bisnis.com, JAKARTA -- Bulan lalu, nama Abu Bakar Ba'asyir dan I Nyoman Susrama menjadi perhatian masyarakat. Meski keduanya memiliki latar belakang yang berbeda, tapi ada satu kesamaan yang mengikat keduanya, yaitu remisi.
Ba'asyir adalah narapidana kasus terorisme yang divonis 15 tahun penjara dan telah menjalani hukumannya selama 9 tahun. Sementara itu, Susrama adalah terpidana kasus pembunuhan jurnalis Radar Bali, AA Bagus Narendra Prabangsa, dan mendapat hukuman penjara seumur hidup.
Walaupun sama-sama masih menjalani hukuman, tapi tiba-tiba ada kabar bahwa mereka mendapatkan remisi dari pemerintah. Kabar itu pun menuai kontroversi di masyarakat.
Dalam rencana pembebasan bersyarat Ba’asyir, masalah muncul lantaran pemerintah berencana membebaskannya tanpa syarat. Adapun di kasus Susrama, polemik muncul karena pemerintah mengubah hukuman sang terpidana dari seumur hidup menjadi kurungan berjangka waktu.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat pemerintah tak bisa membebaskan Ba’asyir tanpa syarat karena dilarang oleh UU. Dia merujuk pada keberadaan Pasal 15a KUHP yang mengatur syarat-syarat pembebasan terpidana.
Abu Bakar Ba'asyir dikunjungi Yusril Ihza Mahendra di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , Jumat (18/1/2019)./ANTARA-Yulius Satria Wijaya
“Presiden tidak bisa membebaskan Ba'asyir tanpa syarat, dia tetap harus tunduk pada UU yang sudah memberikan syarat. Karena syarat itu tidak dipenuhi, maka tidak jadi dibebaskan tanpa syarat,” ujar Fickar kepada Bisnis.com, Rabu (6/2/2019).
Dia juga menyoroti keputusan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang memberi remisi kepada Susrama sehingga otak pembunuhan jurnalis di Bali itu mendapat hukuman 20 tahun penjara. Baginya, Kemenkumham telah melanggar UU karena mengubah putusan pengadilan yang memvonis Susrama hukuman seumur hidup.
“Jika pengadilan atau hakim sudah memutuskan sesuai dengan UU, maka putusan tersebut hanya bisa diubah dengan putusan pengadilan juga. Eksekutif seperti Presiden dan jajarannya tidak berhak dan tidak berwenang mengubah,” terang Fickar.
Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018, ada lima jenis remisi yang bisa diberikan kepada narapidana.
Pertama, napi bisa diberikan remisi umum setiap perayaan HUT kemerdekaan pada 17 Agustus. Kedua, remisi khusus diberikan pada hari besar keagamaan napi terkait.
Ketiga, napi bisa mendapat remisi kemanusiaan asal memenuhi syarat memiliki masa pidana maksimal setahun, berusia di atas 70 tahun; atau menderita sakit berkepanjangan.
Keempat, napi bisa memperoleh remisi tambahan apabila dianggap sudah berjasa pada negara, melakukan perbuatan bermanfaat bagi negara atau sosial, dan melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di lapas.
Kelima, remisi tambahan dapat diberikan pada napi sebesar setengah dari remisi umum yang diperoleh pada tahun berjalan. Tambahan remisi diberikan bersamaan saat remisi umum.
Selain Ba'asyir dan Susrama, nama lain yang sempat mencuri perhatian karena mendapat remisi di antaranya eks Direktur Utama Bank Century Robert Tantular dan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP).
Robert, yang dijerat 4 kasus dan mendapat vonis total 21 tahun penjara, mendapat remisi sebanyak 77 bulan dan bebas bersyarat pada Desember 2018. Adapun BTP divonis 2 tahun penjara karena kasus penistaan agama dan mendapat remisi 3 bulan 15 hari, sebelum akhirnya bebas pada akhir bulan lalu.
Seorang jurnalis memberi dukungan dalam aksi damai "Cabut Remisi Pembunuh Jurnalis" di Pekanbaru, Riau, Minggu (27/1/2019)./ANTARA-Rony Muharrman
Syarat Khusus dan Kelakuan Baik
Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan Kemenkumham Ade Kusmanto menyebutkan ada syarat khusus untuk pemberian remisi kepada terpidana kasus terorisme dan narkoba.
Bagi terpidana kasus terorisme, remisi bisa diberikan jika orang terkait telah menyatakan bersalah dan mengikuti program deradikalisasi dari lembaga pemasyarakatan. Terpidana kasus narkoba bisa memperoleh remisi setelah memenuhi syarat-syarat umum, dan mau bekerja sama membongkar perkaranya.
“Menyatakan bersalah ditandai dengan menandatangani ikrar kesetian kepada pancasila dan NKRI, serta mau bekerja sama membongkar perkara yang sedang dijalani,” terangnya.
Syarat umum agar napi bisa mendapat remisi adalah berkelakuan baik selama kurang dari 6 bulan sebelum pengurangan hukuman dilakukan. Selain itu, napi wajib sudah menjalani hukuman lebih dari 6 bulan dan harus mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan lapas.
Namun, indikator kelakuan baik napi selama dipenjara tampaknya masih bisa diperdebatkan. Menurut Ade, seorang napi bisa disebut berkelakuan baik jika namanya tidak pernah masuk buku register F di lapas.
“[Register F] adalah catatan narapidana diberi sanksi karena melakukan pelanggaran tata tertib lapas,” ungkapnya.
Syarat kelakuan baik itu berlaku pada seluruh napi, baik terpidana kasus terorisme, narkoba, maupun mereka yang mendapat hukuman penjara seumur hidup.
Perbaikan Sistem Remisi
Direktur Eksekutif Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menganggap harus ada perbaikan sistem pemberian hak asimilasi, yang di dalamnya mencakup remisi.
Dia menilai berhak atau tidaknya narapidana mendapat hak asimilasi (remisi, cuti menjelang bebas, atau pembebasan bersyarat) seharusnya sudah ditetapkan saat sidang di pengadilan. Jika hak asimilasi diatur pengadilan, pemerintah hanya tinggal mengeksekusi putusan tersebut.
Mantan Direktur Utama Bank Century Robert Tantular./Antara
“Kalau residivis dan berdasarkan pemeriksaan dia enggak mungkin disembuhkan, jadi dia bisa dicabut hak asimilasinya. Tapi pencabutannya bukan lewat hak pemerintah, tapi pengadilan,” tutur Anggara.
ICJR menganggap polemik terkait remisi selalu muncul lantaran saat ini pemerintah yang berwenang memberi atau tidak pengurangan masa hukuman pada tahanan. Jika hak memberi atau menghilangkan asimilasi dipindahkan ke pengadilan, maka pemerintah diprediksi tak akan terlalu banyak menghadapi polemik seperti itu lagi.
Dia juga berpendapat agar hak asimilasi diberikan berdasarkan pertimbangan orang, bukan kasus per kasus. Anggara memandang pertimbangan kasus per kasus dalam pemberian remisi menjadi sumber masalah kelebihan muatan lapas di Indonesia.
“Aturannya kan sekarang remisi jadi kewenangan mutlak pemerintah. Karena protes banyak orang, maka muncul ide pengetatan revisi terhadap tiga kasus besar yaitu narkotika, terorisme, korupsi. Nah, menurut saya harusnya itu tidak diletakkan pada kasus, tapi orang. Jadi, kalau otaknya terorisme ya enggak patut dia dapat asimilasi,” ucapnya.