Bisnis.com, JAKARTA--Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan digugat oleh Amerika Serikat dan New Zealand di World Trade Organization (WTO).
Gugatan tersebut terungkap dari hasil laporan Badan Penyelesaian Sengketa di bawah WTO yaitu Dispute Settlement Body (DSB) tertanggal 18 Januari 2019 dengan judul Indonesia-Importation of Horticultura Products, Animals, And Animals Products: Status Report Regarding Implementation of the DSB Recommendations and Rulings by Indonesia.
Dewan Pertimbangan Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Indonesia Hebat (Almisbat), Syaiful Bahari menilai dalam laporan tersebut Indonesia sudah diminta untuk segera mencabut dan merevisi sejumlah Pasal yang termuat di dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 24 Tahun 2018 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2018 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dan Permentan Nomor 23 Tahun 2018 serta Permendag Nomor 65 tentang hewan dan produk hewan.
"Sebenarnya bukan kali ini saja Amerika Serikat dan New Zealand memprotes Permentan terkait RIPH dan membawa masalah itu ke meja hijau di DSB-WTO. Pada tahun 2013, dua negara itu juga menggugat Permentan Nomor 60 Tahun 2012 tentang RIPH dan Permendag Nomor 60 Tahun 2012," tuturnya, Kamis (31/1).
Dia memprediksi alasan kedua negara itu menggugat regulasi Permentan dan Permendag tersebut yaitu karena aturan itu dinilai diskriminatif, tidak adil serta terlalu membatasi produk hortikultura negara lain dan hal tersebut bertentangan dengan Perjanjian WTO-GATT.
"Pembatasan impor hortikultura itu tidak hanya akan melanggar Perjanjian WTO-GATT, tetapi juga telah membuka potensi terjadinya monopoli dan kartel oleh segelintir kelompok importir bawang putih sebagaimana yang telah diperiksa dan diputuskan oleh KPPU pada 2014," katanya.
Dia berpandangan Permentan Nomor 24 Tahun 2018 sebagai revisi dari Permentan Nomor 38 Tahun 2017 tentang RIPH yang digugat di DSB-WTO beberapa hari lalu mewajibkan importir hortikultura menanam bawang putih jika ingin mendapatkan RIPH dan SPI.
Menurutnya, alasan pemerintah menerapkan wajib tanam bawang putih agar tercipta swasembada bawang putih karena impor bawang putih Indonesia mencapai lebih dari 90% berasal dari impor.
"Namun faktanya, justru pada periode tersebut impor kita bukannya menurun malah meningkat. Tahun 2016, jumlah impor bawang putih sesuai data Center for Indonesia Policy Studies yang dikutip BPS 2017, mencapai 444.000 ton dan tahun 2017 meningkat jadi 556.000 ton. Sedangkan RIPH yang dikeluarkan Kementan pada 2017, mencapai 980.000 ton," ujarnya.
Putusan DSB-WTO yang didiamkan pemerintah itu, dinilai telah menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha bawang putih dan kerugian yang ditimbulkan pelaku usaha dan petani. Menurutnya, pelaku usaha bawang putih sudah mengeluarkan dana yang besar untuk mendapatkan RIPH dan SPI.
"Jika peraturan ini digantungkan, maka yang akan rugi adalah Pemerintah Indonesia sendiri. Citra Pemerintah Indonesia di mata komunitas perdagangan Internasional akan tercoreng akibat produk peraturan yang tidak konsisten dan tidak realistis," tuturnya.