Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Kebut Rancangan Peraturan Pemerintah Jaminan Produk Halal

Kepala Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso menyatakan bahwa proses sertifikasi halal saat ini masih dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pengunjung bertransaksi di gerai ritel Podjok Halal, di Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (5/12)./JIBI-Nurul Hidayat
Pengunjung bertransaksi di gerai ritel Podjok Halal, di Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (5/12)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — Kepala Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso menyatakan bahwa proses sertifikasi halal saat ini masih dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Hal ini masih akan terus berlangsung hingga perangkat aturan pendukung dan infrastruktur sistem informasi halal siap beroperasi.

Salah satu regulasi yang saat ini dikebut adalah Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Produk Halal (JPH). "Begitu RPP JPH tersebut selesai ditandatangani dan disahkan menjadi PP JPH, maka kewenangan penerbitan sertifikasi halal berada sepenuhnya di BPJPH selaku leading sector Jaminan Produk Halal,” ungkap Sukoso, di Jakarta, Senin (7/1/2019).

Menurut Sukoso, saat ini Rancangan PP JPH sudah diparaf oleh sejumlah menteri dan lembaga terkait. Terakhir, Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK) juga sudah membubuhkan paraf untuk kemudian diserahkan ke Sekretariat Negara untuk proses penandatanganan oleh Presiden.

"Semua sudah paraf, sehingga RPP bisa diajukan ke Presiden untuk ditandatangani. Semoga PP segera terbit sehingga BPJPH bisa segera laksanakan amanat UU sertifikasi halal," kata Sukoso.

Sukoso menegaskan, PP JPH akan menjadi regulasi pokok pelaksanaan JPH oleh BPJPH. Bersamaan dengan itu, pihaknya terus melakukan beragam persiapan. Mulai dari melakukan pelatihan auditor halal, membangun kerja sama dengan PTKN maupun PTKIN terkait penyediaan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), hingga membangun sistem aplikasi online.

"Segera setelah regulasi pelaksana UU JPH tersebut disahkan dan sistem aplikasi online yang saat ini tengah dibangun BPJPH dapat beroperasi secara efektif, maka pengajuan pendaftaran sertifikasi halal akan dilaksanakan di BPJPH," tegasnya.

Tanpa terbitnya PP tersebut, BPJPH belum bisa beroperasi. Oleh karenanya, dalam masa tunggu itu, pengajuan permohonan pengajuan sertifikasi halal mengikuti ketentuan yang telah berlaku sebelumnya. Hal ini sesuai bunyi pasal 59 dan 60 UU JPH.

Pasal 59 menyebutkan sebelum BPJPH dibentuk, pengajuan permohonan atau  perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan tata cara memperoleh Sertifikat Halal yang berlaku sebelum Undang-Undang ini diundangkan. Sedang pasal 60 mengatur bahwa MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH dibentuk.

“Artinya, MUI bisa tetap melaksanakan tugasnya di bidang sertifikasi halal sampai perangkat pelaksanaan UU JPH sudah lengkap dan BPJPH bisa melaksanakan tugas fungsinya,” ujarnya.

UU JPH mengatur bahwa penerbitan sertifikasi halal melibatkan BPJPH sebagai regulator, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang meliputi auditor dan MUI sebagai pemberi fatwa produk. Karenanya, di 2019, BPJPH akan segera menjalin sinergi dengan LPH.

"Sinergi dengan MUI selama ini sudah berjalan sehingga tidak ada masalah," jelasnya.

Terkait pembiayaan sertifikasi halal, Sukoso menjelaskan bahwa saat ini tengah dirumuskan bentuk pengelolaan keuangannya secara Badan Layanan Umum. Sesuai Pasal 44 dan Pasal 45 UU JPH, besaran biaya sertifikasi halal akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah sebelumnya pernah meminta pemerintah untuk menjalankan Pasal 59 dan 60 UU JPH dengan memperkuat Lembaga Pelaksana Pengawasan Obat dan Makanan (LPPOM) MUI melalui Peraturan Presiden demi keberlangsungan mandatori sertifikasi halal sebagaimana amanat UU, dan menjamin kepastian iklim usaha dan hubngan perdagangan internasional .

“Ada 5000 produk yang mandatori sertifikasi pada Oktober 2019. Dengan jumlah sebanyak itu, LPPOM MUI sekarang tidak sanggup. Harus ada penguatan oleh Presiden dalam bentuk Perpres, dan menjamin kepastian iklim usaha dan hubungan perdagangan internasional,” ungkapnya.

Berdasarkan kajiannya, ternyata, Pasal 44 dalam UU tersebut justru memberatkan para pelaku usaha. Pasalnya, para pelaku usaha besar dipungut biaya sertifikasi yang lebih besar untuk kemudian disubsidikan kepada pelaku usaha kecil atau disebut kebijakan afirmasi.

“Ini bukan subsidi dari negara dan tidak menarik buat pelaku usaha yang besar serta tidak adil menurut kajian saya karena sama-sama produk, kemudian dijual ke pasar yang kalau perlu harganya harus murah. Bagaimana mungkin pelaku usaha yang besar besar dipungut besar, kecil dipungut kecil,” tuturnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, harus ada tanggung jawab negara dengan memberikan subsidi kepada pelaku usaha kecil untuk mendapatkan sertifikasi halal. Jika tidak, menurutnya, hal itu justru mengganggu iklim usaha di tanah air.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper