Bisnis.com, JAKARTA -- Sebanyak 164 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan komitmen dalam kerja sama pengelolaan migrasi internasional dengan mengadopsi pakta migrasi global di Marrakesh, Maroko, Senin (10/12/2018).
Pakta yang disepakati 193 negara PBB minus AS tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerja sama negara dunia dalam menghadapi tantangan arus migrasi yang semakin kompleks. Kendati demikian, 30 negara yang awalnya menyepakati draf pakta memilih untuk tidak secara resmi menandatanganinya.
Peristiwa penandatanganan pakta kali ini terbilang cukup bersejarah. Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration (GCM) merupakan dokumen pertama yang membahas tata kelola migrasi internasional pada tingkat global.
Adapun Indonesia sebagai salah satu negara yang turut mengadopsi pakta tersebut mendapat kehormatan sebagai wakil presiden dari kawasan Asia Pasifik dalam proses adopsi pakta. Tak ketinggalan, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi ditunjuk sebagai pemimpin pleno konferensi tersebut.
Dalam pidatonya sebagai ketua delegasi Indonesia, Retno menekankan bahwa negara di dunia perlu bekerja sama untuk mengurai isu migrasi internasional.
Dia juga menyatakan bahwa migran memiliki peran yang signifikan dalam pembangunan. Oleh karena itu, berbagai elemen pemerintahan didorong untuk berkolaborasi mengelola isu ini.
"Remitansi yang dikirim oleh para migran terbukti mampu meningkatkan taraf hidup keluarga dan mendukung pembangunan, baik di negara asal maupun tujuan. Migran adalah agen pembangunan yang berkontribusi besar dalam mendukung pencapaian Agenda Pembangunan berkelanjutan 2030,” ujar Retno dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, Senin (10/12).
Untuk tingkat nasional, Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 mengenai Perlindungan Pekerja Migran yang merupakan kerangka legal komprehensif bagi perlindungan pekerja migran. Di tingkat kawasan, Indonesia juga telah berhasil mendorong disahkannya Konsensus Asean mengenai Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Pekerja Migran.
PBB mulai membahas pakta tak mengikat soal tata kelola migrasi ini pada 2015 setelah lebih dari 1 juta pengungsi dari Suriah dan Afrika tiba di Eropa. Mereka datang untuk menghindari perang sipil dan juga kemiskinan di negara asal.
Arus migrasi tersebut sempat memunculkan krisis pengungsi menyusul banyaknya pengungsi yang tenggelam di Laut Mediterania. Adapun jumlah pengungsi global saat ini diperkirakan telah mencapai 21,3 juta jiwa.
Senada dengan Retno, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutteres mengungkapkan bahwa migran bisa membawa dampak positif bagi negara penerima jika dikelola dengan baik.
"Di sejumlah negara dengan tingkat fertilitas rendah dan harapan hidup tinggi, ekonomi akan begerak stagnan dan mereka akan kesulitan tanpa para migran," paparnya seperti dilansir dari Reuters, Senin (10/12).
Guterres melanjutkan hal itu menunjukkan bahwa banyak negara maju di dunia membutuhkan migran di spektrum peran vital, mulai dari mengasuh penduduk senior sampai mencegah ambruknya layanan kesehatan.