Kabar24.com, JAKARTA — Praktik tindak pidana pencucian atau TPPU nyata-nyata terjadi di sektor perikanan, tetapi penyidik pegawai negeri sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak berwenang menyidik kejahatan tersebut.
Berdasarkan UU No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) KKP tidak termasuk dalam daftar enam otoritas penyidik TPPU. Padahal, tindak pidana di bidang kelautan dan perikan termasuk satu dari 25 jenis kejahatan asal yang bisa dijerat TPPU.
Penjelasan Pasal 74 UU TPPU hanya mencantumkan enam otoritas penyidik TPPU yakni Kepolisian RI, Kejaksaan RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.
Alhasil, bila ada indikasi TPPU dari tindak pidana perikanan, kasus tersebut harus dilimpahkan ke penyidik Kepolisian RI.
Staf Khusus Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115) Yunus Husein mengingatkan bahwa kerugian negara di sektor perikanan mencapai triliunan rupiah. Namun, ganjaran untuk pelaku pencurian ikan tidak sebanding dengan kerugian negara tersebut.
Dia mencontohkan anak buah kapal (ABK) kapal asing tidak boleh dipidana secara fisik sesuai ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). Celakanya, jika terpidana tidak bisa membayar denda, Mahkamah Agung melarang pula hukuman subsider diganti dengan pidana fisik.
“MA tak membolehkan hukuman badan terhadap hukuman denda yang tidak bisa dibayar oleh ABK asing sementara ABK Indonesia bisa kena subsider. Agak ironis juga,” ujarnya dalam sidang perkara uji materi UU TPPU di Jakarta, Selasa (11/12/2018).
Menghadapi realitas tersebut, Yunus menilai kejahatan perikanan lebih efektif dijerat dengan TPPU. Dengan demikian, fokus aparat dapat diarahkan untuk mengejar aset para pelaku sehingga sumber daya perikanan yang dijarah kembali kepada negara.
“Kerugian negara perikanan triliunan rupiah tidak terkejar. Berpuluh-puluh tahun kita hanya andalkan hukuman fisik,” tutur mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ini.
Yunus mengemukakan pendapat tersebut saat memberikan keterangan sebagai ahli dari pemohon uji materi UU TPPU di Mahkamah Konstitusi. Salah satu materi yang dipermasalahkan pemohon adalah pembatasan otoritas penyidikan TPPU hanya pada enam instansi.
Ketentuan yang tecantum dalam Penjelasan Pasal 74 UU TPPU dinilai diskriminatif terhadap penyidik instansi lainnya. Sependapat dengan pemohon, Yunus mengusulkan agar otoritas penyidik TPPU diperluas.
Para penggugat UU TPPU a.l. Lembaga Anti Pencucian Uang Indonesia dan Yayasan Auriga Nusantara.