Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Australia akan membuat undang-undang yang memberikan kepolisian dan badan intelijennya akses ke pesan terenkripsi pada aplikasi messaging seperti WhatsApp.
Di tengah protes dari perusahaan seperti Facebook Inc. dan Google, pemerintah dan oposisi utama mencapai kesepakatan pada Selasa terhadap undang-undang yang disahkan oleh parlemen pekan ini.
Dalam UU ini, perusahaan teknologi dapat dipaksa untuk membantu mendekripsikan pesan komunikasi pada aplikasi, atau bahkan membangun fungsi baru untuk membantu polisi mengakses data.
Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan bahwa UU tersebut diperlukan untuk membantu menggagalkan serangan teroris dan kejahatan yang terorganisasi. Sementara banyak yang mengkritik bahwa hal tersebut dapat merusak keamanan di Internet, dan membahayakan berbagai macam kegiatan mulai dari pemungutan suara online hinga perdagangan saham dan penyimpanan data.
Undang-undang tersebut mendorong Australia ke jantung dari pusat perselisihan global antara perusahaan teknologi dan pemerintah atas privasi dan keamanan. Pada tahun 2016, Departemen Kehakiman AS berselisih paham dengan Apple Inc. ketika perusahaan menolak untuk membuka iPhone milik pelaku penembakan massal di San Bernardino, California.
Sementara itu Pemerintah Inggris telah bersikap sangat kritis terhadap enkripsi WhatsApp setelah layanan perpesanan tersebut digunakan oleh teroris sesaat sebelum membunuh lima orang di London pada Maret 2017.
Penasihat keamanan cyber pemerintah Australia Alastair MacGibbon mengatakan bahwa pihak berwenang dapat mencegat komunikasi telepon secara sah selama hampir 40 tahun terakhir, dan membutuhkan kekuatan baru untuk mengikuti teknologi modern.
“Penegak hukum telah [menjadi] buta atau tuli karena enkripsi,” katanya dalam wawancara dengan Australian Broadcasting Corp.
"Apa yang dilakukan undang-undang ini adalah membantu mengkodifikasikan percakapan antara polisi dan perusahaan telekomunikasi, yang harus masuk akal, proporsional, dan layak secara teknis," katanya, seperti dikutip Bloomberg.
Digital Industry group, sebuah asosiasi industri yang anggotanya termasuk Facebook dan Google, telah berkampanye menentang RUU tersebut dan bekerja sama dengan Amnesti International dan Pusat Hukum Hak Asasi Manusia.