Bisnis.com, JAKARTA – Kendati memiliki sejumlah kelemahan, sistem proporsional terbuka dalam pemilu legislatif diyakini paling cocok diterapkan di Indonesia guna menjamin kemajemukan bangsa terwakili dalam parlemen.
Kelemahan sistem proporsional terbuka a.l. jumlah wakil rakyat tiga sampai 10 orang untuk merepresentasikan satu daerah pemilihan yang luas. Akibatnya, tanggung jawab individual anggota DPR sering terbengkalai.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Bara Hasibuan mengakui bahwa sistem proporsional terbuka tidak sempurna. Namun, dia tidak setuju bila Indonesia beralih ke sistem distrik yang cenderung individualistik.
“Di Indonesia yang luas wilayah begitu besar dan karakteristik penduduk majemuk, proporsional dalam representasi itu dibutuhkan. Di satu dapil yang ada lima dan empat kursi, akan ada representasi dari latar belakang suku dan agama berbeda,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (24/11/2018).
Bara menjelaskan sistem proporsional terbuka sejatinya mengakomodasi sistem proporsional tertutup dan sistem distrik. Pasalnya, penempatan wakil parpol di parlemen ditentukan oleh suara terbanyak yang didapat oleh calon anggota legislatifnya.
“Kalau proporsional tertutup itu kan hanya memilih partai tanpa tahu calegnya, sedangkan sistem distrik memilih orang dengan membawa partai,” kata Anggota Komisi VII DPR ini.
Baca Juga
Guna mengantisipasi kelemahan sistem proporsional terbuka, Bara menilai parpol perlu merekrut dan mendidik caleg yang benar-benar memiliki minat politik. Bersamaan dengan itu, konstituen perlu diedukasi agar memantau kinerja wakil mereka di parlemen.
“Sekarang ini hanya sedikit masyarakat yang tahu diwakili siapa. Tidak ada ikatan sama sekali,” ucapnya.
Guru Besar Riset Ilmu Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris berpendapat perbaikan performa anggota parlemen sulit terwujud bila sistem proporsional terbuka masih dipertahankan.
Menurutnya, sistem itu membuat anggota DPR lebih fokus ke dapil ketimbang menjalankan fungsi-fungsi kedewanan.
LIPI, tambah Haris, pernah mengkaji skema kombinasi sistem proporsional tertutup dengan sistem distrik untuk diterapkan di Indonesia. Sebanyak 70% anggota dipilih dengan sistem proporsional tertutup berbasis partai, sisanya dengan suara terbanyak ala sistem distrik.
Jika masih menggunakan sistem saat ini, Haris meminta parpol lebih selektif memilih caleg agar menghasilkan wakil rakyat yang mumpuni. Dia menilai mustahil mendapatkan anggota DPR yang memiliki minat politik bila rekrutmen dilakukan ala ‘pasar bebas’.
“Untuk calon pegawai negeri sipil saja ada tes, tapi untuk calon anggota dewan tidak ada,” ujarnya.
Haris mengaku prihatin melihat performa DPR yang belum memperlihatkan tanda-tanda perbaikan.
Menurutnya, rendahnya tingkat kehadiran wakil rakyat dalam persidangan dan rapat berbanding lurus dengan produk legislasi DPR.
Berdasarkan catatan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) pada Masa Sidang I 2018-2019, hanya 16 rancangan undang-undang (RUU) yang berhasil dibahas. Padahal, target pembahasan pada periode 16 Agustus-31 Oktober 2018 itu sebanyak 24 RUU.
“Mesti ada sanki bagi anggota yang tidak menghadiri persidangan di dewan. Kalau parpol tak mampu beri sanksi, mesti diumumkan ke ruang publik siapa yang tidak hadir,” kata Haris.